Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merawat Toleransi dari dalam Keluarga dan Sekolah

3 September 2016   09:59 Diperbarui: 3 September 2016   11:20 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: quotesgram.com

Seiring perkembangan zaman yang semakin maju semestinya menuntut perubahan dari kita. Perubahan ke arah yang lebih baik dalam semua sisi kehidupan kita. Terutama perubahan tata pikir dan tata tindak dalam dalam pergaulan dengan sesama . Bahkan di era media sosial ini, perlunya menata kembali bentuk komunikasi kita yang lebih elegan dan etik.

Komunikasi yang elegan dalam dunia maya dapat membangun sikap menghargai, terutama yang berbeda suku, agama, ras dan budaya. Hal ini dapat terwujud, bila kita memahami dengan sungguh, makna komunikasi dan toleransi yang sejatinya.

Komunikasi berasal dari kata bahasa Latin, dua suku kata, ‘cum’ berarti dengan atau bersama dengan, dan kata ‘unicare’ berarti menyatukan. ‘Cum-unicare’ berarti bersama menyatukan dan bersama menyetujui. Komunikasi lebih bermakna sebagai penyatuan dua hati yang berbeda ide, gagasan, dan pandangan hidup. Komunikasi berarti juga menyetujui adanya perbedaan pandangan. Komunikasi yang ideal adalah mengakui juga adanya ketidaksamaan suku, agama dan ras sesama yang lain.

Sedangkan toleransi berasal dari kata ‘tolerare’ yang berarti menyabar, menahan diri, membiarkan orang lain berpendapat lain. Toleransi berarti membuka diri terhadap orang-orang yang berbeda dengan kita. Lebih dari itu, toleransi adalah mengakui dan menghargai perbedaan-perbedaan suku, agama, ras dan budaya. Toleransi mengandaikan kita menghormati keberagaman dengan sikap rendah hati.

Saya berteguh yakin, andai semua kita memahami makna komunikasi dan toleransi yang sesungguhnya, maka tidak akan ada caci maki dan penghinaan, tidak ada pembakaran rumah/tempat ibadah, tidak saling ejek menjurus penghinaan, bahkan tidak akan terjadi penistaan terhadap suku, agama dan ras tertentu.

Kenyataan berbicara sangat ngeri di dunia maya, pada laman-laman media sosial justru caci-maki, saling menghina dan saling mengejek yang mengarah penghinaan terhadap suku, agama dan ras bertumbuh sangat subur. Saya sangat kuatir andai dibiarkan, kehancuran tidak tertunggu lama. Perpecahan menjadi nyata. Pertikaian atas nama suku, agama dan ras merajalela. Terlebih saat menjelang pesta demokrasi, kata-kata penghinaan akan suku, agama dan ras melejit tajam. Hinaan berbau SARA menjadi menu sarapan pagi membosankan di laman, status, dan komentar media sosial.

Hemat saya, gejala-gejala intoleransi dalam media sosial adalah riak-riak yang muncul. Kita mesti melihatnya berbagai aspek secara keseluruhan. Jauh lebih dalam, hemat saya, pembentukan nilai-nilai komunikasi (media sosial) dan toleransi yang belum tepat (untuk tidak mengatakan; salah) sejak dalam keluarga dan bangku sekolah. Sangat penting adalah penanaman nilai yang sedini mungkin, sejak dalam keluarga dan sekolah dasar hingga sekolah menengah.

Sedangkan peran pemerintah adalah menata ulang aturan dan sistem sambil menggandengan beberapa lembaga dan instansi yang berkaitan, sebagaimana diejahwantahkan dalam beberapa poin di bawah ini.

Pertama, memperkuat peran keluarga sebagai tempat persemaian nilai-nilai komunikasi dan toleransi. Pihak terkait seperti BKKBN mesti diperluas fungsinya. BKKBN semestinya tidak hanya mengurus ‘dua anak cukup’, kondom dan ‘atur-mengatur’ masa subur calon ibu. Peran lembaga ini mesti diperkaya. BKKBN perlu memberikan pendidikan bagi keluarga multi aspek, termasuk terkait peran keluarga membentuk nilai-nilai keberagaman dalam masyarakat. BKKBN bukan untuk merencanakan jumlah anak, tetapi juga merencanakan kualitas anak.

Kedua, menata ulang pendidikan kita. Kembalikan butir-butir pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila (P4) sebagai pelajaran wajib di sekolah. Kembalikan PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Dan kembalikan PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) agar menjadi generasi yang menghargai setiap tetes darah pejuang bangsa, yang berjuang demi kemerdekaan RI tanpa melihat suku, agama dan ras. Beberapa pahlawan dari berbagai suku dan agama mestinya menjadi pelajaran berharga dalam kaitan pemaknaan toleransi yang sesungguhnya.

Ketiga, menguatkan pendalaman pendidikan agama di sekolah. Pelajaran agama bukan hanya soal hafal ayat-ayat Kitab Suci. Lebih dari itu pengamalan dan penghayatan pesan setiap ayat-ayat itu dalam keberagaman hidup bersama. Di sinilah peran Departemen Agama diperkuat, tidak hanya mengurus pergi haji dan membagi-bagi Kitab Suci gratis. Depag perlu mengawasi lebih ketat pendidikan agama di sekolah-sekolah berjalan benar, tidak memupuk benih-benih permusuhan terhadap keberagamaan di tanah air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun