TIDAK lama lagi, malapetaka, derita, dan nasib malang sebagai anak bangsa yang menghuni Indonesia Timur akan datang. Ketiganya mengusir kegembiraan dan keceriaan kami untuk duduk bersama, saling cerita, sambil minum kopi aroma khas Flores, lalu menyaksikan secara ‘ramai-ramai’ punggawa sepak bola lewat layar kaca. Terkhusus, kami yang hidup di Pulau Flores dan NTT umumnya, derita nasib malang sebagai anak Timur paling sakit terasa menjelang Piala Dunia, Piala Eropa dan kadang-kadang Liga Nasional dan turnamen papan atas lainnya.
Dalam hitungan hari saja, Piala Eropa 2016 akan digelar. Kami tidak mungkin pergi menonton langsung ke negara ‘Laissez-faire’ itu. Hanya lewat televisi, kami dan kita di Indonesia bisa menyaksikan laga demi laga. Tidak perlu merogoh kocek berjuta-juta. Cukup dari hasil kerja keras John Logie Baird (penemu TV) itu sudah membawa kita seperti berada dan menonton langsung di stadion pertandingan. Transmisi gambar, suara dan gerak pemain di lapangan hijau dinikmati secara puas, di belahan benua atau negara mana pun.
Adalah nahas bagi kami yang hidup di Indonesia Timur, khususnya Flores dan NTT. Keringat John L Baird tidak kami rasakan secara puas. Terutama Piala Eropa, Piala Dunia, dan liga-liga Eropa jarang kami nikmati. Ini ketakutan dan kecemasan kami. Sebab, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, sudah menjadi tradisi, saat akan memulai pertandingan atau pertandingan berjalan baru beberapa menit, layar televisi kami langsung mati total. Bukan oleh karena listrik padam. Kami di Flores menyebutnya “diblokir”.
Kami sudah biasa dengan layar televisi yang tiba-tiba seperti laron berkumpul, dan tertulis ‘not found’. Chanel siaran diacak. Seketika kami bungkam. Keceriaan kami untuk menyaksikan siaran langsung sepak bola dipaksa berubah kusam. Ini menyakitkan, jauh lebih sakit dari menghujamkan pedang ke jantung dan hati kami. Seakan dilarang keras menonton siaran langsung sepak bola bagi kami yang hidup di pelosok Indonesia Timur. Bisa jadi, hanya dengan ‘blokir’ siaran, bakat sepak bola generasi-generasi kami tidak boleh sehebat Leonel Messi. Entah.
Sepuluh tahun saya berada di tanah Jawa, Kota Metropolitan, menonton siaran langsung sepak bola, baik Liga Nasional, Liga Eropa, Liga Inggris, Liga Spanyol, Piala Eropa dan Piala Dunia sangat mudah. Saya masih ingat, di sebuah rumah kos Jalan Maragonda Depok itu, saya cukup menghabiskan uang tiga ratus ribu rupiah. Uang itu saya membeli sebuah TV tuner dan antene sebesar panggangan ikan. Dihubungkan dengan sebuah monitor komputer. Jadilah, bersama teman-teman, kami bisa memirsa berita, menyaksikan pertandingan sepak bola dari ujung dunia mana pun, jika disiarkan langsung oleh TV nasional.
Di Flores punya TV untuk memirsa berita, mengakses informasi dan sekedar hiburan menonton siaran langsung sepak bola mesti membayar mahal. Tidak cukup TV dengan antena biasa. Kita harus membeli parabola. Sekarang harganya lumayan mahal, sekitar 1 juta rupiah lebih. Hukum permintaan dan penawaran akan berlaku. Terlebih menjelang Piala Eropa 2016 ini. Menjelang Piala Dunia yang lalu harganya menusuk hingga 3 juta rupiah. Setelah membeli parabola, kita harus juga membeli alat penerima pesan gambar dan suara. Namanya resiver. Sekarang pihak penjual mematok harga 600 ribu rupiah. Menjelang Piala Dunia 2014 lalu, harga alat ini menembus 1,3 juta rupiah.
Tidak hanya itu, hanya dengan mengotak-atik nomor dan merek, tidak semua resiver mampu menerima dan menampilkan siaran sepak bola secara langsung. Ada beberapa jenis merek resiver yang ditawarkan kepada kami. Indovision, dalam promosi iklannya meyakinkan bisa siaran jernih meski cuaca hujan, badai dan angin kencang. Nyatanya, gol yang sama bisa berbeda waktu. Tetangga sebelah lebih duluan 3 menit teriak “goolllll”. Sementara Orange TV dan K-Vision sekarang lagi naik panggung, seraya perlahan melepaspergikan Matriks. Ajang Piala Dunia kemarin nama K-Vision melambung. Harganya pun ikut naik, menyentuh 1,6 juta rupiah. Belum termasuk pulsa paket bulanannya.
Nah, itulah malangnya kami di Indonesia Timur. Menonton siaran sepak bola itu mahal. Jangan hidup di Flores kalau hobi nonton bola. Bisa-bisa stres dan gila. Sebab saat nonton layar monitor TV berubah suram, chanel diacak. Di saat itu pula, kegembiraan dan keceriaan menjadi muram durjana. Menyedut aroma kopi sambil bersungut-sungut. Not found. Chanel sedang diacak-acak. Saluran diblokir.
Seperti menjelang Piala Eropa 2016, 10 Juni nanti, kami sudah menebak-nebak, resiver apa yang akan digunakan para penyedia rakus. Orange TV atau tetap K-Vision? Ada resiver baru dengan merek baru? RCTI dan Global TV adalah saluran resmi UEFA Euro 2016. Tapi sabar dulu, itu iklan. Kami di Flores sudah tahu. Blokir dan acak akan terjadi jika tidak diikuti resiver yang ditawarkan, paket yang disuguhkan.
Maklumlah, meski mahal isi dompet tetap dikuras. Bukan karena kami kaya. Semata-mata kami suka sepak bola. Kami suka kebersamaan dalam aroma segelas kopi Flores yang nikmat. Kami rindu keceriaan. Bersama terciptanya gol-gol indah tim kesayangan, kami rindu arti berbagi kegembiraan.
Akhirnya, selamat menyambut UEFA Euro 2016 dengan doa harapan, moga-moga layar TV tidak diacak, chanel siaran tanpa blokir. Sambil tetap menjaga isi dompet penuh ‘kalau-kalau’ resiver ikut diganti.