Cerpen Roman Rendusara
Sepulang dari ladang, Wunu masih duduk saja di dapur. Memandang tungku dengan bisu. Sepercik api pun belum dinyalakan, dan lampu pelita dari bekas kaleng susu itu ragu menunggu, kapan tangan Wunu memantik api dan menyalakannya.
Gubuk panggung yang kecil, sekaligus dapur itu temaram. Gelap melahap. Hanya beberapa titik cahaya memantul dari rumah tetangga, yang mengintip lewat lubang-lubang kecil dinding bambu anyam itu.
Wunu, gadis remaja yang hidup sebatang kara itu tak mengupas ubi kayu, membersihkan lalu memasak seperti yang dilakukannya setiap malam, untuk menu makan malam, sepulang lelah dan lapar berladang. Ia tak menyiapkan makan malam. Dan berharap sepiring nasi dari tetangga sudah tak mungkin.
Tak seperti semasa ayah dan ibunya masih hidup, semua tetangga dan orang-orang sekampung masih akur dengannya, dengan keluarga dekat pun sangat kompak. Namun, entah mengapa, kepergian ayah, disusul ibunda dipanggil Du’a Ngga’e (Yang Kuasa) sebulan yang lalu tak hanya menyisakan kesedihan. Tapi meninggalkan utang barang yang tak bisa diganti dengan uang sekalipun.
“Kau harus cari e! Cari! Dan cari sampai dapat!” teriak seorang bapak dari rumah sebelah.
Suara itu tak asing bagi Wunu. Setiap malam. Teriakan yang penuh emosional selalu saja memecah kesendirian Wunu. Suara kemarahan bak tamu tetap sudah seminggu ini. Tak lain, dialah Nitu, lelaki beristri lima, hidup di rumah panggung besar, persis bersebelahan dengan gubuk Wunu, sejarak dua meter tak lebih itu.
Nitu, seorang mosalaki(tetua adat) di kampung itu. Entah siapa yang menahbiskannya, orang-orang sekampung sudah menyebutnya demikian, jauh sebelum Wunu lahir, bertumbuh remaja dan kini menjadi anak gadis yang manis.
“Wunu e”, teriak Nitu, lelaki itu lagi.
“Oeeee...”, jawab Wunu lemah.
“Besok harus su dapat. Kalo tidak kau pu gubuk itu kami bakar”