Senja sedang ramah, tapi belum tenggelam di sebelah Barat. Beberapa lelaki dan perempuan paruh baya sudah beranjak dari rumah. Tak ketinggalan anak-anak seusia SD turut serta, mengikuti jalan kampung yang baru saja dirabat dengan dana desa. Hanya beberapa meter hendak masuk pantai, jalan belum disemen.
Begitulah kehidupan sehari-sehari masyarakat Titehena di Pulau Solor, Flores Timur, NTT. Selepas berkebun dan berladang, berbondong–bondong mereka ke laut. Aktivitas ini dikenal dengan ‘menyuluh’, berasal dari kata ‘suluh’ yang berarti sesuatu yang bisa dipakai untuk menerangi. Biasanya obor, daun kelapa kering, dan damar untuk menerangi kegiatan di malam hari. Menyuluh berarti memakai daun kelapa kering sebagai obor untuk mencari ikan saat pasang surut. Namun, seiring perkembangan zaman, kini mereka menggunakan senter.
Masyarakat Titehena setiap sore turun ke pantai jikalau pasang surut. Mereka mencari ikan untuk makan malam nanti. Bagi mereka, hidup hari ini hanya untuk hari ini. Ikan hasil menyuluh malam ini hanya untuk malam ini dan esok pagi hingga siang, tidak untuk malam berikutnya.
Siput laut, cumi-cumi, dan gurita umumnya didapat. Selain beberapa jenis ikan terumbu karang pesisir pantai. Ikan-ikan ini bermain-main, bahkan asyik ‘pacaran’ di terumbu karang. Dan jika laut surut hingga dua kilometer dari bibir pantai, ikan-ikan ini lupa pulang. Pasang naik sekitar pukul 20.00 – 21.00 malam yang diisyaratkan dengan ayam berkokok. Tapi nahas bagi ikan-ikan asyik pacaran dan lupa pulang itu, mungkin sudah dikuahkan atau dibakar, sebagai menu malam bersama tuak putih dan arak Solor yang berani.
Kami tidak turut menyuluh sore itu. Memanfaatkan kesempatan adalah cara kami membunuh senja. Maklum esok hari kami harus meninggalkan di Pulau Solor ini, sebuah pulau yang sejak dulu saya mengenalnya dalam sejarah masuknya Gereja Katolik di Flores. Benteng Lohayong yang dibangun 1555 adalah saksi sejarah misi penyebaran ajaran iman oleh Portugis. Iman itu kini saya anuti. Lantaran letaknya belasan kilometer dari Titehena maka kami putuskan tidak mengunjunginya, mungkin di lain kesempatan.
Terkagum-kagum saya menikmati indahnya Pantai Titehena. Pasir putih bersih. Hutan bakau nan hijau. Bangau putih bertengger anggun. Sejenis pipit terbang berpasangan sambil bernyanyi “cek…cek…cekk”. Sementara di sela-sela pohon bakau, lekukan kecil sisa air surut, ikan-ikan kecil masih asyik bermain kejar-mengejar.
Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, tak ketinggalan kami mengunjungi sebuah museum. Letaknya sekitar Pantai Titehena. Cukup berjalan kaki beberapa menit saja. Museum ikan paus menyambut kami tak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Jauh dari kondisi museum yang pernah dikunjungi. Museum ikan paus di Titehena mirip sebuah gubuk. Beratap daun lontar dan tanpa dinding. Terdapat tulang belulang ikan paus yang disusun seperti ikan paus sedang tidur. Tanpa tulisan dan penjelasan apa pun di dalamnya.
Konon, seratus tahun lebih yang lalu, kemarau panjang. Tanah Solor gersang. Umbi-umbian hutan meranggas. Jagung kering kerontang. Penduduk Pulau Solor mengalami bencana kelaparan hebat. Tapi berkat Sang Pemilik Kehidupan selalu datang tepat waktu. Dua ekor ikan paus besar terdampar di pantai. Penduduk Pulau Solor sontak menyambut gembira. Mereka membunuh hanya seekor paus itu, dan seekornya yang lain disuruh pulang, kembali ke laut. Daging ikan paus itu, dipotong dan dibagikan ke semua penduduk pulau. Mereka pun bisa bertahan hidup.