Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara adalah nama pena. Tinggal di Kepi, Desa Rapowawo, Kec. Nangapanda, Ende Flores NTT. Mengenyam pendidikan dasar di SDK Kekandere 2 (1995). SMP-SMA di Seminari St. Yoh. Berchmans, Mataloko, Ngada (2001). Pernah menghidu aroma filsafat di STF Driyarkara Jakarta (2005). Lalu meneguk ilmu ekonomi di Universitas Krisnadwipayana-Jakarta (2010), mengecap pendidikan profesi guru pada Universitas Kristen Indonesia (2011). Meraih Magister Akuntansi pada Universitas Widyatama-Bandung (2023). Pernah meraih Juara II Lomba National Blog Competition oleh Kemendikristek RI 2020. Kanal pribadi: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ikan Kering, Pesan Toleransi dari Flores

20 Desember 2014   17:14 Diperbarui: 7 November 2015   15:45 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

PAGI tadi, saya mendapat telpon dari bibi Nur, di Numba, supaya sebentar mau ke kampung singgah di rumah dulu, ambil ikan buat orangtua di kampung untuk Natal. Saya menyanggupinya. Dan usahakan sebentar singgah.

Numba itu sebuah kampung di pesisir Selatan, 20 km arah Ende – Nangapanda, Kec. Nangapanda, Ende, Flores, NTT. Mayoritas penduduknya Muslim dan sebagian besar nelayan. Demikian bibiku, Nur, juga seorang Muslim yang saleh. Kami masih ada ikatan keluarga. Ia ramah kepada keluarga kami. Meski kami berbeda agama. Itulah pengalaman kekeluargaan kami yang sudah dibangun sejak dulu. Mama saya dan bibi Nur, kakak dan adik sepupu. Mama saya lebih tua. Acara natal begini andai dia tidak sempat hadir, ia pasti kirim ikan kering.

Begitu pula saat Lebaran, biasanya Mama saya yang turun ke pantai, ke rumah bibi Nur. Bawa pisang masak dan beras merah hasil kebun ladang. Dan sebentar kalau pulang pasti bawa ikan kering lagi. Maklum kami di kampung, agak ke pegunungan, ikan jarang ada yang jual, kalau pun jual sudah mahal. Bibi Nur kasih ikan kering. Lumayan buat makan keluarga kami, ditemani ubi kayu singkong.

Tiga minggu kemarin, saya turun ke pantai, ke rumah bibi Nur. Bibi Nur yang suaminya meninggal sejak saya kecil, anaknya satu orang, sedang bangun rumah.  Mama dan saya turun gunung, ke rumah bibi Nur di Numba. Mama bawa pisang dan beras merah. Dan pulangnya, kami dikasih ikan kering.

Begitulah pesan toleransi dari kampung kami. Hanya dengan ikan kering, tali silahturahmi mengikat lekat. Hanya dengan pisang dan beras merah dari ladang Mama, jalinan keluarga tak putus digunting sekat – sekat agama. Tanpa atau dengan mengucapkan “Selamat Idul Fitri” dan “Selamat Natal” pun tindakan nyata sudah termeterainya dalam ikan kering, beras merah dan pisang.

Selamat Natal, semoga kita tidak meributkan lagi soal Natal. Damai buat kita semua.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun