Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hari Bumi dan Nama “Belakang” Orang Flores

22 April 2015   21:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:47 2099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1429736551417864163

[caption id="attachment_412015" align="alignnone" width="620" caption="kompas.com/Admin"][/caption]

BUKAN untuk menyanjung – anjungkan daerah dan orang – orang sendiri. Sejak dari sananya, orang Flores itu sangat ekologis. ‘Eikos’ dan ‘logos’ dari bahasa Yunani. ‘Eikos’, berarti rumah, tempat tinggal. Sedangkan ‘Logos’ berarti ilmu. Menjadi, Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan sesamanya dan dengan lingkungannya. Seketika ‘ekologis’ dipahami secara sangat sederhana sebagai sifat, karakter manusia yang mencintai sesama dan lingkungan alam sekitarnya yang bernaung dalam sebuah komunitas bernama bumi – rumah (eikos) manusia berdiam.

Orang Flores umumnya, kesadaran ekologis – mencintai ekosistem alam dan lingkungan hidup itu nampak. Saking cintanya, nama – nama tumbuhan dan hewan dicaplok menjadi nama ‘fam’, nama ‘belakang’. Biasanya setelah nama baptis (kalau orang Katolik). Misalnya, Yohanes Watu, ini pasti nama orang Ngada. “Watu” berarti batu. Orang Ende, misalnya, Elisabeth Wunu. ‘Wunu’ berarti daun. Lipus Kaju, ‘Kaju’ berarti kayu. Ada lagi, Mikhael Api, ‘Api’ berarti api. Ini pasti nama orang Nagekeo. Kuat dugaan, pemberian nama dengan nama tumbuhan, hewan dan alam sekitarnya ini menunjukkan kedekatan orang Flores dengan alam. Dan sebagai doa, orang Flores harus mencintai alamnya.

Kalau orang Manggarai lebih mengadopsi tanpa modifikasi ulang kosakata bahasa Indonesia. Sebagai misal, Thomas Kantor, Stefanus Sahabat, Veronika Gempur dan Fransiskus Guntur. Bisa jadi, tujuannya agar mudah mengingat kosakata bahasa Indonesia. Belum terdengar penelitian ilmiah mengapa orang Manggarai mengadopsi kosakata bahasa Indonesia sebagai nama ‘fam’. Menurut saya, ini bentuk menghargai bahasa sesama yang lain (pendatang) yang belum tahu bahasa Manggarai.

Orang Sikka lebih ‘keren’ kalau soal pemberian nama. Beberapa yang saya kenal, meminjam persis nama orang terkenal dunia. Alexander Fleming, teman kelas saya waktu SMP – persis nama penemu penisilin orang Skotlandia itu. Juga Thomas Alva Edison, kakak kelas, sama dengan nama penemu bola lampu. Biar terkesan dan ikut terbawa – bawa menjadi terkenal. Meski demikian, tetap ada ekologisitas di sana. Nama adalah doa. Semoga menjadi diri yang bernilai bagi sesama yang lain. Seperti para penemu – penemu itu.

Orang Flores Timur lebih ‘berbau’ Spanyol dan Portugal. Meski tetap tidak menghilangkan kadar ekologisnya. Teman saya namanya Yons da Silva. ‘Silva’ berarti hutan dalam bahasa Latin. Terlepas dari pengaruh sejarah, orang Flores Timur sangat mencintai hutan sebagai paru – paru bumi.

Ada lagi teman saya. Namanya Urbanus Haji Ahmad No. Sepintas beragama Islam tapi Katolik tulen. Ada nama baptis Urbanus. Menurut ceritanya, Haji Ahmad No adalah nama tetangga sekaligus keluarganya di pesisir Selatan Keo Tengah (Nagekeo) yang menganut Islam. Hemat saya, nama ini sangat ekologis nan pluralis. Mencintai sesama yang lain tanpa membedakan agamanya.

Akhirnya, selamat hari bumi, 22 April 2015. Kiranya orang Flores semakin memakna namanya. Tidak hanya menolak tambang. Cukup dengan tidak membakar lahan kering seperti di Kurubhoko, Kec. Wolomeze Ngada di musim kemarau. Tidak buang sampah sembarangan di lapangan Pancasila Ende sehabis pembukaan O2SN kemarin dulu. Juga tidak melempar rumah warga lain dengan batu seperti di Kec. Reok, Manggarai, Oktober tahun lalu.  Sebab dari ‘sananya’ kita orang Flores sudah ekologis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun