Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Flores, Menyapa Sahabat dengan Maki

14 Desember 2014   05:13 Diperbarui: 25 Januari 2016   12:28 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_382395" align="aligncenter" width="567" caption="Suatu ketika kami duduk mengisah hidup. Airmata dan tawa melebur dalam satu akar ginseng yang menggairahkan (dok Roman Rendusara)"][/caption]

BARU saja saya selesai mengikuti Misa hari Minggu pada sore ini di kantor. Setelah misa dilanjutkan dengan pentahtaan dan penyembahan Sakramen Maha Kudus di ruang doa. Dalam kotbahnya, Pater Ellias Doni, SVD menekankan pengharapan mesianistik, membangun kerajaan yang damai, penuh cinta kasih dan keadilan. Artinya, kehadiran kita di dunia ini tidak lain adalah sedang meletakan dan membangun suasana yang damai, penuh persaudaraan dan persahabatan, cinta kasih, dan berkeadilan. Dan semua situasi demikian, sempurna akan kita terpenuhi jauh setelah kita tiada. Kita harus meletakan dasar, pengharapan mesianistik sejak kini.

Selesai adorasi, saya ke ruangan kerja. Bukan main, beberapa pesan singkat mampir di telpon layar ‘seghi’ (bah Ende: mengais seperti ayam cari makan di tanah). Tidak semua pesan saya tulis di sini, tapi cukup empat pesan saja. Firasat hermeneutika Kitab Suci saya, empat pesan itu termasuk saripatih membangun pengharapan mesianistik tadi.

Pesan pertama, Masuk via inbox facebook. Dari seorang teman SMP dulu, seasrama. Sebab nilai bahasa Latin tidak menukik poin 7, maka kami terpaksa 'berpisah ranjang', alias tidak seasrama lagi. Baru ketemu setahun lalu, itu pun hanya di dunia maya. Sekarang teman yang biasa disapa Ben ini mengabdi sebagai guru di Kelewae. Persis di kaki gunung Ebulobo, terkenal sebagai tanah subur dan penghasil cengkeh. Bunyi pesannya, singkat, padat dan berisi: “Lasu”.

Pesan kedua, masuk lewat pintu WhatsApp. Dia juga teman sejak SMP dan SMA. Seasrama dan satu bakul nasi, satu meja, sempat pernah satu kelas dan sama – sama orang Ende, hanya soal “omong banyak"/"wora” dia lebih. Saya agak pendiam, sopan dan bak ‘tabernakel berjalan’. Sekarang teman ini lagi berbulan madu pra nikah di Kalimantan. Bunyi pesannya, lebih menggelitik, sensual tapi isi jelas; “Lasuuuuuuu”.

Pesan ketiga ini kurang diplomatis, lebih pada nafsu ketimbang pemanasan, dan sangat memancing tapi esensi jelas. Masuk lewat jendela inbox facebook. Pengirimnya teman saya juga, satu almamater, satu ruang makan dan mandi. Pernah juga seruang ‘tuk habiskan biskuit puff dan crispy di koperasi SMA. Ia mantan ketua OSIS dan sekarang sudah menjadi wakil rakyat di sebuah kabupaten yang pada 8 Desember 2014 kemarin mensyukuri HUTnya ke – 8. Tulisnya,“uti”, cukup tiga huruf.

berikut, “Kau di mana, lasu”, pesan ini pura – pura diplomatis tapi motif jelas. Hanya mau menanyakan nona Jerebu’u (sebuah kampung di Ngada) yang satu itu, ehm manisnya itu mau teguk liur saja. Pesannya bertamu di BBM. Kebetulan teman yang satu ini SMSnya sering disadap istri, jadinya jarang gunakan. Nama dan profesinya sekarang ini sangat saya rahasiakan. Andai tulis dan menyebutnya, saya bisa – bisa kalau ke arah perbatasan Kab. Ngada dan Manggarai Timur tidak dikasih ikan bakar dan arak ramuan akar ginsengnya.

Nah, empat pesan yang sepintas lalu bernada makian tadi adalah cara kami, mungkin tidak lazim dan sedikit melengkapi teori – teori sosiologi dalam bersosialisasi. Sebuah kata dengan awal huruf “L” itu sapaan yang seksi tapi berisi ketika anak – anak alumni Mataloko, Ngada itu saling tegur, senyum, sapa, dan salam. Kami semakin akrab, bercanda ria, ketawa terbahak – bahak. Kami kadang menangis bersama. Kata dengan huruf “L” itu seperti punya roh 'tuk merakit persahabatan, sembari menyulam persaudaraan di antara kami. Jutru dengan sapaan demikian kami meletakan dasar pengharapan yang mesianistik nan eskatologis.

(yang tercecer di pojok Melati, Ende)

==============================================================

Catatan:

Lasu (bah.Ende dan Ngada, Flores umumnya), artinya alat kelamin laki – laki. Kata ini biasa digunakan sebagai sapaan akrab teman sebaya, sebagai rasa kedekatan, biasanya untuk sesama lelaki. Uti, hampir sama dengan l**u

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun