Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dangdut, Azizah KDI dan Solidaritas ala Flores

9 Mei 2015   10:41 Diperbarui: 29 November 2015   07:58 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14311468321999286993

[caption id="attachment_416121" align="aligncenter" width="700" caption="Azizah, kontestan KDI 2015 asal Maumere, Flores "][/caption]

Sumber gambar : di sini

PASCA isu ikan berformalin yang menggegerkan Nusa Nipa, kini ada topik baru sedang hangat. Azizah, nona (gadis) Maumere, Flores yang sedang ikut pentas KDI 2015, di sebuah televisi swasta itu menjadi tema menarik. Setiap sudut jalan, mereka mengobrol tentangnya. Suaranya merdu ‘apa kabar’ punya (apa kabar punya: sangat luar biasa). Setiap penampilan selalu memukau juri dan jutaan pasang mata yang menonton. Ia masih sangat muda belia. Tampil sederhana. Cantik dan anggun, khas setiap nona Flores. Lebih dari itu, ia membanggakan masyarakat Flores.

Meski, saya tahu baik, orang Flores umumnya tidak terlalu suka dengan musik dangdut. Musik sealiran bang Roma Irama ini tidak familiar. Kalau pun orang Flores berdiri dan ‘bergoyang’ (menari/joget) diiringi lagu ini, itu sebab sudah segelas arak Bola (arak dari Bola, daerah selatan Kab Sikka). Arak Bola terkenal sangat keras. Memabukkan. Seteguk saja sudah bisa linglung. Apalagi segelas: sudah berkeluarga mengaku masih bujang lapuk. Dan musik aliran apa saja, dia pasti menari, termasuk aliran dangdut. Saya mau katakan, jarang kami menikmati dangdut.

Kalau pesta, seperti pesta nikah, lagu – lagu yang ‘diputar’ itu kebanyakan lagu pop daerah, reggae, dj dan ala porto sedikit. Pop daerah biasa dibuka awal acara ‘papi’ – patah pinggang. Gawi, dari Ende-Lio dan Ja’i dari Ngada. Kedua lagu ini mengiringi tarian sesuai namanya, Gawi dan Ja’i. Setelah itu, acara bebas. Disco, popdisco, reggae dan musik DJ bergantian. Satu dua lagu dangdut, meski sepi peminat. Bisa – bisa, bagian opereter kena lempar botol arak. Di wilayah Manggarai, masih dominan lagu dansa, makin larut, semakin ‘nol kilometer’. Istilah ‘nol kilometer’ merujuk pada jarak rangkulan dengan lawan jenis. Kalau dengan sesama jenis pakai ‘nol kilometer’, orang akan bilang ‘ata wedhol’ (orang tidak waras). Sekali lagi, saya mau gariskan, musik dangdut tempatnya sempit di Flores.

Nah, munculnya pujian, dukungan dan apresiasi kepada Azizah KDI 2015, tidak serta-merta mengklaim orang Flores minat dengan musik dangdut. "Saya tidak suka dangdut, tetapi saya mulai tertarik dengan KDI karena ada Azizah dalam ajang ini," ujar Anton, Teny, John dan Catryn yang mengaku berasal dari Jalan Wairklau, Kelurahan Madawat, Maumere (PK 1/5).  Semua pihak berpartisipasi memberikan SMS. Bupati dan Wakil Bupati Sikka, Uskup Maumere, pastor paroki Watublapi dan umat serta SMK Yohanes 23 – tempat Azizah menimba ilmu, turut mendukung. Tidak ketinggalan, orang Flores diaspora, di seluruh pelosok Indonesia.

Sampai di sini, saya sedang disadarkan, yang namanya solidaritas itu universal. Solidaritas (Latin: solidarietatis) berarti setia kawan: setia terhadap kawan. Solidaritas itu kepekaan akan sesama  yang lain. Solidaritas itu mengakui adanya sesama yang lain, seperti kita mengakui diri kita sendiri. Solidaritas membutuhkan rasa memiliki. Semua orang adalah saudara. Orang Flores sedang menunjukkan itu, bahwa solidaritas itu buta akan perbedaan. Ia tidak beragama.

Akhirnya, rasa kesetiakawanan orang Flores itu kekal dan abadi. Tulus, apa adanya. Ikhlas, apa gunanya. Tidak ‘neko-neko’. Jujur. Itu kesan saya. Kiranya, itu tidak lekas digerus sejalur perubahan zaman. Andai tidak, maka deretan kata – kata ini mesti dimaknai sungguh: “ketika kita sukses dan berprestasi, banyak orang akan ikut bertanggung jawab. Sebaliknya, sedikit orang bahkan tidak ada orang bertanggung jawab ketika kita gagal”. Mari, kita bersolidaritas dalam keduanya: sukses dan gagal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun