Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara adalah nama pena. Tinggal di Kepi, Desa Rapowawo, Kec. Nangapanda, Ende Flores NTT. Mengenyam pendidikan dasar di SDK Kekandere 2 (1995). SMP-SMA di Seminari St. Yoh. Berchmans, Mataloko, Ngada (2001). Pernah menghidu aroma filsafat di STF Driyarkara Jakarta (2005). Lalu meneguk ilmu ekonomi di Universitas Krisnadwipayana-Jakarta (2010), mengecap pendidikan profesi guru pada Universitas Kristen Indonesia (2011). Meraih Magister Akuntansi pada Universitas Widyatama-Bandung (2023). Pernah meraih Juara II Lomba National Blog Competition oleh Kemendikristek RI 2020. Kanal pribadi: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Belum ke Flores Kalau Belum Tenggak Moke atau Sopi

1 September 2016   11:07 Diperbarui: 4 Maret 2021   08:32 2937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang bapak di Nuabosi Ende sedang memukul-mukul pangkal buah enau. Foto: Roman Rendusara

Jangan dulu bangga sudah pernah menginjakkan kaki di tanah Flores, jika belum meneguk minuman beralkohol masyarakatnya. Selain menikmati keindahan alam sembari menyelami pesan atraksi budaya yang mengagungkan, terasa lebih lengkap bila sudah menikmati sensasinya yang berani minuman khas Flores.

Di Flores sangat mudah mendapatkannya, ketimbang di beberapa daerah lain justru menjadi target operasi pihak berwenang. Ketika melintas jalur Aimere hingga Waelengga, di daerah perbatasan Kabupaten Ngada dan Manggarai Timur, misalnya, saya hampir terkecoh saat membeli bensin. Di pinggir jalur itu, kiri dan kanan memajang beberapa botol, dengan diisi air jernih. Sama jernih dengan bensin eceran tanpa campuran.

Pangkal buah enau yang siap diiris. Foto: Roman Rendusara
Pangkal buah enau yang siap diiris. Foto: Roman Rendusara
Botol-botol berasal dari bekas botol minuman air dalam kemasan. Berukuran 1500 ml dan 600 ml. Harga tergantung ukuran botol, juga kualitasnya. Tentu semakin tinggi kadarnya makin tinggi pula harganya. Kualitas kadang tidak ada standar, tergantung rasa, aroma dan efeknya terhadap seseorang yang minum, dengan kadar alkohol yang berbeda pula.

Masyarakat menyebutnya arak, hasil proses penyulingan tuak atau aren. Flores bagian tengah dikenal dengan ‘moke’. Orang Manggarai menyebutnya ‘sopi’. Orang Maumere lebih menyebutnya ‘BM’ (Bakar Menyala). Beberapa tempat di Ngada sering menyebutnya ‘ciu’, sekaligus menunjuk pada ajakan untuk meminumnya bersama-sama.

Cirigen tempat menaruh nira. Foto: Roman Rendusara
Cirigen tempat menaruh nira. Foto: Roman Rendusara
Saya membatasi tulisan ini pada jenis arak yang berasal dari pohon enau. Tumbuhan jenis palma (Arenga pinnata) ini juga kami sering menyebutnya pohon ijuk. Batang pohonnya kukuh, dibalut serabut hitam. Serabut hitam ini sebagai bahan ijuk.

Sejak kecil saya sudah diingatkan, tidak boleh bertanya-tanya atau mengajak bicara bila bertemu pembuat arak sedang memukul-mukul pangkal tandan di atas pohon enau. Entah sebatas mitos, katanya, nanti niranya tidak mau keluar. Sore itu saya patuh menuruti nasihat sang kakek. Saya cukup menyaksikan dengan diam. Tidak ada suara terdengar, selain bunyi pemukul sebesar pentung permainan kasti itu, dan seirama jarum detik.

Beberapa hari kemudian pangkal tandan siap diiris, dengan pisau khusus yang sangat tajam. Nira pun keluar setetes demi setetes. Wadah penampung nira kami namakan ‘bhoku’, (Bahasa Ende) dari seruas bambu. Digantung saja di atas pohon enau hingga menunggu penuh. Sehari kemudian baru dicek. Jika sudah terisi penuh dan niranya tidak menetes lagi, maka ‘bhoku’ diturunkan.

Tungku untuk memasak nira. Foto: Roman Rendusara
Tungku untuk memasak nira. Foto: Roman Rendusara
Nira dituangkan dalam wadah penampung. Kami menyebutnya ‘po’o’, dari tiga hingga empat ruas bambu. Seiring perkembangan zaman, ‘po’o’ ditinggalkan. Lebih mudah ditampung dalam jirigen ukuran jumbo. Sambil menunggu proses penyulingan.

Proses penyulingan menjadi arak dilakukan di kebun. Terdapat pondok khusus disiapkan. Nira dimasukan ke dalam belanga besar, periuk dari tanah liat. Selama proses pemasakan, belanga ditutup dengan bambu yang sudah dilubangkan bukunya. Seukuran diameter 5 cm dan membentuk seperti pipa sepanjang tiga sampai lima meter.

Di ujung pipa bambu digantungkan sebuah botol kaca untuk menadah setetes demi setetes uap yang mengembun. Proses penyulingan telah selesai. Arak lalu disimpan dalam sebuah tembikar dari tanah, dan siap diminum.

Untuk menghasilkan arak yang lebih berani, biasanya sebelum dimasak, nira dibumbui beberapa ramuan, yang berasal dari daun dan kulit pohon tertentu. Sangat jarang para pembuat ‘moke’ membagi resep dan tips kepada orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun