[caption id="attachment_321859" align="aligncenter" width="300" caption="Gambar Ilustrasi"][/caption]
KESUNYIAN masih merenggut kamar sepi ini. Lelah meremuk sekujur tubuh ini. Meski demikian mata terlalu acuh untuk dipejamkan segera, masih kedap – kedip bak lampu yang melilit pohon natal. Pukul berapa saya sudah tidak tahu lagi. Yang pasti tetangga sebelah rumah terdengar jelas ngoroknya.
***
Memang saya akui, semenjak menjadi kasir dan rencananya kemudian akan dialihkan menjadi koordinator kasir, tubuh telalu sakit dan lelah sepanjang hari. Waktu terasa penuh. Tidak santai seperti dulu. Jam pulang pun berubah. Kalau masuk pagi pukul tujuh, pulang selalu pukul lima sore. Atau andai mendapat shift malam, masuk jam sepuluh pagi dan baru masuk kos jam sebelas malam. Sepertinya saya berjibaku dengan waktu. Tidak ada hari off atau libur. Seolah tidak ada kalender bertinta merah. Tanggal merah selalu dihitung sebagai lembur. Entah kapan “lemburan” itu keluar. Terlambat masuk beberapa menit gaji disunat itu sudah biasa, lembur tak dibayar itu lumrah. Ya, itulah mengapa keletihan ini menjadi sahabat terbaik sepanjang hari.
Jika malam pulang larut pukul sebelas, jalanan kota ini mati tak bernapas. Sepi mengantarku pulang. Menyelusuri lorong setapak sempit itu. Di bawah pohon mangga itu, sekitar seratus meter lebih mendekati rumah kos yang saya tempati, masih memangkal anak – anak muda. Sepeda motor diparkir di situ juga. Ada yang duduk tepi aspal dan beberapa duduk santai dan menyandar di atas punggung sepeda motor. Hampir pasti setiap malam mereka bercengkerama di situ. Tertawa lepas. Bernyanyi diiringi gitar. Sesekali mereka berbisik – bisik. Dan ketika saya lewat mereka mulai pasang aksi. “Suit – siut...”, “ade nona su pulang ko...” dan “bisa kaka antar ko...” adalah kata – kata yang biasa mereka ucapkan. Saya nampak tersenyum malu – malu, tapi dalam hati agak takut. Waspada selalu menjadi bekal sambil mengatur irama kaki sedikit menjadi cepat.
***
Saya mengambil spidol dan buku diary pemberian mantan terburukku. Menulis hanya untuk mengusir penat dan lelah malam ini. Selanjutnya mungkin bisa mengobat sakit hati yang terlanjur perih, teriris dan terpotong – potong, pecah dan hancur berkeping – keping. Tidak bisa memaafkannya. “Kau hanya penjaga toko” terpahat kuat dalam jiwa perempuanku yang rapuh. Ini adalah amunisi terbaiknya untuk menyudahi ini semua. Saya tahu kau sarjana, lulusan terbaik di tanah Jawa. Pekerjaan oke. Gaya mentereng. Sok – sok elite. Tapi itu hanya untuk perempuan – perempuan yang lain. Sedang saya mengetahui luar dan dalammu.
Sudahlah saya tidak mungkin mencacimu. Dan airmata tidak jatuh lagi untukmu. Saya takut malam dan kesepian ini tersinggung. Sebab saya tahu, masih ada Tuhan yang bersamaku malam ini.
“Tuhan... biarkan semua yang terindah tentang saya dan dia terukir pada awan, apa bila angin berhembus semuanya menjadi hilang tak berbekas. Menangis hanya menyisakan ketakberdayaanku. Sepahit apapun hidup ini, saya mesti berdiri tegar. Sebab Engkau yang menggendongku”
Tanpa tanggal dan tempat. Hanya kuakhiri goresan kecil ini sebelum tubuh dibungkus sarung, “Akhir Cinta Gadis Pengaja Toko”.
Ende, 10 Pebruari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H