Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara adalah nama pena. Tinggal di Kepi, Desa Rapowawo, Kec. Nangapanda, Ende Flores NTT. Mengenyam pendidikan dasar di SDK Kekandere 2 (1995). SMP-SMA di Seminari St. Yoh. Berchmans, Mataloko, Ngada (2001). Pernah menghidu aroma filsafat di STF Driyarkara Jakarta (2005). Lalu meneguk ilmu ekonomi di Universitas Krisnadwipayana-Jakarta (2010), mengecap pendidikan profesi guru pada Universitas Kristen Indonesia (2011). Meraih Magister Akuntansi pada Universitas Widyatama-Bandung (2023). Pernah meraih Juara II Lomba National Blog Competition oleh Kemendikristek RI 2020. Kanal pribadi: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

WFH dan Petani Milenial

15 November 2021   13:40 Diperbarui: 15 November 2021   14:20 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yance Maring, petani milenial Kabupaten Sikka, NTT, menggunakan teknologi canggih untuk pengairan lahan pertaniannya. Foto: MI/Gabriel Langga 

Pagebluk membawa budaya kerja baru, dengan istilah-istilah baru. Ada WFH yang berarti bekerja dari rumah. Juga, WFO bermakna bekerja di kantor. Bahkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menggaungkan "bekerja sambil berwisata".  Ia mengajak, work form Bali (WFB) dan work from Toba (WFT). Ini berarti pandemi mendorong budaya kerja mengkuti inovasi teknologi dan perubahan zaman.

Budaya kerja dokter, misalnya. Ia tidak selalu dari Rumah Sakit. Dokter selalu bersama kita. Kemana pun pergi, di situ dokter selalu ada. Dokter hanya dalam layar telpon genggam kita. Jika sebatas konsultasi, kita cukup masuk ke aplikasi yang tersedia, kita berkeluh kesah penyakit kita, dan tidak menunggu berlama-lama, beberapa menit saja, obat sudah tiba di depan pintu.

Terhadap "kemajuan" budaya kerja jenis ini, kami sebagai petani, bisa apa? Sangat mengerikan kalau petani bekerja dengan sistem WFH atau dengan FFB/WFT. Petani jagung, misalnya, di kampung saya, di Ende (NTT), jangankan bekerja dari rumah, sementara berada di kebun saja, sekawanan kera datang mencuri jagung. Mereka tidak takut lagi kepada manusia. Dan, kera-kera di kampung kami itu sudah "bersekolah" tinggi dengan gelar master. Mereka pintar. Mereka tahu, mana petani yang punya senapan angin dan mana yang tidak.

Sempat terpikir di kepala, andai sudah ditemukan remote control dari jarak jauh dengan menggunakan aplikasi di hp, petani-petani di kampung kami sudah bisa bekerja dari rumah. 

Dari aplikasi itu bisa mendeteksi kawanan kera sudah berada di pinggir-pinggir ladang dan akan siap mematahkan jagung-jagung itu. Cukup klik OK, mesin senapan otomatis yang terpasang di sudut-sudut kebun memberondong seperti perang terbuka. Pasti kera-kera berlari tunggang langgang. Sebagian pasti mati tertembak.

Bukan apa-apa, timbul sedikit iri hati saja ketika mengerti istilah WFH. Kami bisa apa? Ini bergumam dalam hati. Istilah-istilah begitu justru diskriminatif terhadap profesi tertentu. Enak ya jadi pekerja kantoran, kalau lagi WFH bisa sambil gendong anak, sambil masak, sambil tiduran, singkatnya bisa sambil berbahagia dengan orang-orang tercinta.

Namun, sebagai petani kami tetap berharap inovasi kerja dengan segala fasilitasnya suatu saat bisa merata, berkembang pada sektor pertanian juga. Bukan tidak mungkin, saat-saat tertentu petani bisa merasakan nikmatnya ber-WFH. Jangan salah, sistem irigasi tetes sudah merambah ke petani-petani milenial di Flores, NTT.

Untuk menyiram tanaman holtikultura, misalnya, sudah menggunakan aplikasi berbasis android di ponsel. Keunggulannya, sistem ini menyiram sekaligus memupuk tanaman dari sentuhan layar. Beberapa anak muda di Flores mengembangkan model pertanian ini setelah belajar dan magang di Israel.

Dengan demikian, iri hati dan perasaan terdiskriminatif lambat-laun dipulihkan. Ingat, budaya dan sistem kerja apapun bentuknya mengarah kepada efektivitas kerja. Efektivitas selalu didukung dengan komitmen. Tanpa komitmen kerja semuanya akan menjadi sia-sia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun