Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bukan Ajang "Bertumpah, Berdarah-darahan"

12 September 2021   10:07 Diperbarui: 12 September 2021   10:06 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Pixabay.com

Sejauh ini, saya masih berpikir, Indonesia terlalu cepat merdeka. Bisa jadi, founding fathers bangsa ini terburu-buru melepaskan diri dari penjajahan. Buktinya, kita belum dewasa dalam bernegara dan berbangsa. Kita belum sungguh bertumpah-darah satu. Kemerdekaan justru membawa kita kian terjebak dalam "bertumpah-berdarah-darahan" dalam urusan sepele sekalipun.

Memang benar, hasil kemerdekaan dirasakan, kita bisa keluar sebagai bangsa yang merdeka, tidak dijajah oleh bangsa lain. Namun, kita sedang dijajah oleh anak bangsa sendiri. Kita saling berebut "nasi" bak anjing kelaparan. Kita saling berebut kuasa bak singa ganas. Kita pun saling berebut surga, seolah-olah sertifikat tanah surga milik orang/kalangan tertentu saja.

Pascareformasi, nafsu saling menggigit itu terasa makin tajam. Pemilu dan Pilkada menjadi arena saling perang, saling adu. Kata-kata kampret, cebong, dan kadrun sangat gampang disebut. Itu senjata kita, untuk menyerang lawan. Kita mengumpat musuh dan lawan politik. Sadar atau tidak, kita sedang mempertontonkan "bertumpah-berdarah-darahan" sebagai sesama anak bangsa. Jika demikian adanya, kemerdekaan justru mengantar kita menjadi bangsa yang barbar. Sadis.

Harapan setulus hati datang ketika Pemilu dan Pilkada 2024 digaungkan. Kiranya ajang demokrasi ke depan semakin bermartabat. Hal itu mesti dimulai dengan kebijakan, sistem, dan mekanisme yang lebih tampan.

Pertama, perlu kebijakan kampanye virtual. Tidak ada lagi penggerakan massa besar-besaran. Tidak perlu lagi kerumunan kampanye. Sebab, ajang seperti kampanye akbar cenderung memamerkan nafsu berkuasa, ketimbang gagasan-gagasan cerdas.

Kedua, selesaikan persoalan klasik data kependudukan, data pemilih tetap. Di zaman serba digital ini, tidak ada alasan lagi bahwa orang yang sudah jadi tanah dalam kubur masih dimasukkan sebagai data pemilih tetap. Koordinasi KPU, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemda segera dibangun. Semua pihak terkait mesti satu suara jika bicara soal data pemilih tetap.

Ketiga, memperkuat digitalisasi pemilu dan pilkada. Pada pemilu 2009, KPU sudah menggunakan intelligent character recognition (ICR) yakni proses pemindahan data dari level KPUD. Sayangnya justru menjadi penyebab lambatnya tabulasi data hasil pemilu.

UU Pilkada untuk 2014 sudah membuka peluang untuk menggunakan elektronik. Meskipun faktanya kita belum menggunakan e-voting itu. Kini muncul Sirekap yang dianggap sukses mendorong partisipasi masyarakat. Sayangnya, kita masih menganut proses perhitungan dan rekapitulasi suara berjenjang-yang selama ini justru biang segala penyelewengan dan manipulasi suara.

Akhirnya, publik tetap menaruh harapan, Pemilu dan Pilkada 2024 semakin berwibawa dan bermartabat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun