Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara adalah nama pena. Tinggal di Kepi, Desa Rapowawo, Kec. Nangapanda, Ende Flores NTT. Mengenyam pendidikan dasar di SDK Kekandere 2 (1995). SMP-SMA di Seminari St. Yoh. Berchmans, Mataloko, Ngada (2001). Pernah menghidu aroma filsafat di STF Driyarkara Jakarta (2005). Lalu meneguk ilmu ekonomi di Universitas Krisnadwipayana-Jakarta (2010), mengecap pendidikan profesi guru pada Universitas Kristen Indonesia (2011). Meraih Magister Akuntansi pada Universitas Widyatama-Bandung (2023). Pernah meraih Juara II Lomba National Blog Competition oleh Kemendikristek RI 2020. Kanal pribadi: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Merawat Komitmen, Menjaga LDR Indonesia-Hong Kong

16 Februari 2021   14:41 Diperbarui: 17 Februari 2021   10:03 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menikah adalah awal membangun komitmen yang sesungguhnya. Foto: Dok Pribadi

Kuliah saya kandas pada 2005. Lantaran ketiadaan biaya. Di tengah kota Metropolitan yang tak pernah sepi, saya memutuskan untuk bekerja. Sebuah perusahaan distributor air minum dalam kemasan menerima saya dengan senyum ceria.

Saya ditempatkan sebagai staf marketing. Terdengar keren memang. Meski hari-hari saya dipanggil kenek, sebagai tukang muat dan bongkar galon air minum. Saya melamar dengan ijazah pendidikan terakhir: SMA. Mungkin bagian HRD melihat fisik saya yang kuat. Diharapkan, bisa mengangkat galon dengan aman, agar tidak jatuh pecah/bocor.

Sebagai karyawan dengan status paling rendah, selevel office boy, saya melakukan dengan gembira. Saya tahu, perjalanan seribu kilometer dimulai dengan langkah pertama. Sebagai kenek itulah langkah berkarier mulai ditapak.

Benar, proses tak pernah menghianati hasil. Setahun berikut, saya dipercayakan sebagai staf keuangan. Saya menerima setoran hasil penjualan setiap hari. Setoran berupa uang tunai, cek dan giro. Atas jabatan inilah, kecuali hari Sabtu dan Minggu, ruangan saya dikunjungi teller bank yang cantiknya sungguh istimewa. Saya menikmati kebahagiaan-kebahagian kecil, seperti mendapat curahan pengalaman bekerja sebagai teller bank.

Dari seorang teller banklah saya berkenalan dengan Facebook. Atas sarannya, pada 2007 saya berhasil memiliki akun dengan nama seperti nama saya sekarang. Saya mulai menghabiskan setiap detik luang dengan ber-facebook, sebab saya tidak sesibuk dulu sebagai kenek.  Saya meng-add untuk menambah teman. Juga, sesekali posting status, like dan memberikan komen.

Suatu ketika, saya galau. Lantaran cewek blasteran Jawa-Timor Leste mementalkan seluruh rasa cintaku padanya. Dunia seperti tak berpihak. Saya pun menulis, "jangan biarkan hatimu memperjuangkan rasa cinta yang bertuan, jika pahitnya kekecewaan tak terkira."

Status galau ini bermakna luar biasa dalam bagi penjuru dunia maya Facebook. Terutama yang baru saja merasakan 'cinta ditolak'. Tak terkecuali seorang gadis Flores yang sedang bekerja di Hong Kong. Namanya, Elin-bukan nama samaran.

Ia meng-add saya. Kami saling menyapa di ruang inbox. Ia tak segan membagi kisah cintanya, semirip status galau di atas. Kami pun berteman selayaknya teman facebook. Dia rajin like dan komen setiap kali saya posting status. Saya kadang-kadang like dan komen statusnya seperlunya saja.

Pada pertengahan 2007, saya melanjutkan kuliah yang terputus di kampus berbeda sebelumnya. Saya memilih kampus di wilayah Jatiwaringin, Jakarta Timur. Saya menjalani sebagai mahasiswa non reguler. Khusus untuk karyawan/pekerja. Jadwal kuliah sore hingga malam hari. Jika ada tambahan waktu, dipilih hari Sabtu setengah hari. 

Kesibukan kuliah dan kerja tugas, otomatis tidak ada waktu bersantai-santai lagi. Termasuk bermain facebook. Hari Minggu biasanya digunakan untuk kerja tugas, baik tugas individu maupun kelompok. Berkat-berkat terberi dalam kerja tugas kelompok sangat dirasakan sebagai anak kos. Teman seangkatan sangat paham kondisi saya. Mereka umumnya sudah mapan secara ekonomi. Mereka membawa bekal untuk makan bersama. Juga dinner bersama di rumah makan terdekat. Saya cukup menyiapkan perut dengan kondisi yang belum terisi sejak pagi.

Kuliah sambil bekerja tidak semudah mengedipkan alis mata. Biar saya saja, kamu jangan. Aktivitas berfacebook harus berhenti. Jauh dari dalam hati, terukir niat. Kuliah harus selesai. Empat tahun harus  kelar. Tekad itu ditulis, lalu ditempelkan di dinding kamar kos.

Setelah dua tahun vakum berfacebook, saya iseng membukanya. Kaget bukan kepalang. Bak diberondong berulang-ulang, kotak inbox dialiri ratusan pesan. Ternyata, Elin sedang merindu akut dari Negeri Seribu Beton. Katanya, ia kehilangan teman curhat. Hidupnya hampa. Semangatnya hilang. Spiritnya pudar.

Saya memakhluminya. Tetapi perjuangan hidup harus mengutamakan prioritas. Hal-hal lain, seperti cinta dengan segala keistimewaannya akan mengikuti kemudian. Itu pesan orangtua dulu.

Entah siapa yang pertama mengungkapkan cinta, kami pun sepakat menjalin hubungan sebagai pacaran pada 2009 akhir. Tak mempedulikan jarak. Saya di Jakarta. Elin di Hong Kong. Kami menjalani Long Distance Relationship (LDR) antarnegara.

Awal-awal pacaran memang menguras perasaan. Juga menguras isi dompet. Elin masih bersyukur, di Hong Kong tarif sms dan internet sangat murah. Sementara saya di Jakarta, sms dan telpon antarnegara mahal. Messengger dan WA dengan fasilitas video call belum ada.

Kadang saya putus asa. Sebab hanya jauh di mata tapi dekat di telinga. Biaya telpon mahal. Beberapa kali kesulitan beli pulsa data. Terutama rasa cinta sedang mencapai puncaknya dan uang tidak ada. Galau hebat sangat terasa. Namun, Elin tetap meyakinkan, cinta kita harus tetap bersatu-biar cukup air dan minyak saja yang tak mungkin berpaut.

Tepat empat tahun, kuliah saya kelar. Saya menerima ijazah tanpa ikut wisuda bersama teman-teman angkatan. Wisuda hanya seremonial saja. Saya memberitahu Elin. Kami menangis bahagia melalui telpon.

Waktu berlalu. LDR kami lalui bersama. Saling berkomunikasi melalui pesan inbox dan pesan pendek. Terjadi perbedaan pendapat. Semua dijalani dengan cinta yang jujur. Kadang saya mulai mengedip mata ke lain hati. Namun, kami kembali diingatkan dasar hubungan, bahwa hubungan ini bukan atas cinta, namun atas dasar komitmen. Cinta bisa mendua, mentiga dan selanjutnya, tapi komitmen tak bisa dibagi-ceraikan. Ia utuh. Melanggarnya sama seperti menjilat air ludah sendiri.

Kehidupan di ibukota makin sesak. Hari-hari saya berhadapan dengan kemacetan yang 'ukur nenek punya' (parah). Saya pun mulai bosan. Jakarta mungkin bukan masa tua saya. Di akhir 2011, saya kembali ke Flores setelah menyelesaikan Program Profesi Mengajar di UKI-Jakarta. Dengan harapan, bisa menjadi guru di kampung.

LDR dijalanikan dengan jaga jarak 'aman'. Saya hidup di kampung, di Ende-Flores. Elin masih di Hong Kong. Komunikasi tetap dijaga. Meski kadang-kadang terhalang sinyal yang masih tersangkut di pohon kemiri. Kami merawat komitmen dengan prinsip kuat: menuju pernikahan.

Dihantar oleh dua teman di bandara Hong Kong. Foto: Dok Pribadi
Dihantar oleh dua teman di bandara Hong Kong. Foto: Dok Pribadi
Setelah sekian lama di negeri China, masa kontrak selesai. Elin pulang pada 2015. Sama seperti dendam, rindu harus dibalas tuntas. Baru pukul 07.00 pagi saya sudah di bandara. Sesuai jadwal Elin tiba pukul 10.00. Terpancar jelas raut bahagia di wajah kami. Setelah enam tahun kami bertemu. Kami berpelukan di bandara, bukan karena cinta dan rindu yang meluap, tapi tentang komitmen yang bersua.

Masa libur tak disia-siakan. Bersama keluarga besar, upacara peminangan dilakukan pada Agustus 2015. Upacara diselenggarakan sesuai adat Nagekeo-daerah asal calon istri. Pada awal Oktober 2015, Elin harus segera kembali ke Hong Kong, atas pesan 'bos'-nya, karena mereka kesulitan menemukan tenaga pengganti.

LDR kembali dijalani. Ikatan komitmen sudah semakin berakar didukung upacara adat peminangan. Saya tidak mungkin bermain hati dengan 'nona-nona' Flores-yang meski rambut keriting tapi punya senyum manis. Setiap masalah, terutama dalam komunikasi semakin mengantar kami, agar semakin dewasa dalam menjalin hubungan. LDR mengasah kematangan emosional.

Kontrak kerja Elin hanya dua tahun. Ia tidak mau memperpanjang lagi. Pada pertengahan 2017, ia pulang. Kami bersua. Tetap dengan volume rindu yang sama. Prioritas utama segera menikah. Sehingga, akhir Agustus 2017, seluruh komitmen kami dalam cinta yang jujur dipersembahkan ke atas altar suci Tuhan. Kami saling berjanji: sehidup semati, dalam untung dan malang, dalam suka dan duka.

Menikah adalah awal membangun komitmen yang sesungguhnya. Foto: Dok Pribadi
Menikah adalah awal membangun komitmen yang sesungguhnya. Foto: Dok Pribadi
Kini, kebahagian sejati hanya milik Sang Pemberi Kehidupan namun hari demi hari kami berusaha tapaki bersama. Ada tawa dan airmata menghias. Semuanya hanya proses, agar komitmen tetap berjalan di jalur setia.

====

NB: Tulisan ini sudah disetujui oleh Istri, Elin Ermelinda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun