Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara adalah nama pena. Tinggal di Kepi, Desa Rapowawo, Kec. Nangapanda, Ende Flores NTT. Mengenyam pendidikan dasar di SDK Kekandere 2 (1995). SMP-SMA di Seminari St. Yoh. Berchmans, Mataloko, Ngada (2001). Pernah menghidu aroma filsafat di STF Driyarkara Jakarta (2005). Lalu meneguk ilmu ekonomi di Universitas Krisnadwipayana-Jakarta (2010), mengecap pendidikan profesi guru pada Universitas Kristen Indonesia (2011). Meraih Magister Akuntansi pada Universitas Widyatama-Bandung (2023). Pernah meraih Juara II Lomba National Blog Competition oleh Kemendikristek RI 2020. Kanal pribadi: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Di NTT, Sampah Sisa Makanan untuk Babi

7 Desember 2020   21:34 Diperbarui: 8 Desember 2020   15:13 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemberitahuan kepada warga yang hendak menikmati makanan dan minuman gratis dari relawan Sahabat Sedekah di kawasan Perumahan DKI Joglo, Jakarta Barat, Jumat (28/8/2020) via Kompas 3 September 2020

Setiap dua hari sekali ia mengambil makanan sisa dari tetangganya. Sehari bisa enam ember seukuran ember putih Cat Altex. Lumayan, sebagai makanan babi untuk dua hari.

Pada musim pesta/hajatan kini, persediaan makanan sisa dari tetangga melimpah. Mama Maria keterbatasan wadah penampung makanan sisa. Sehingga, babi terlihat lebih gemuk karena porsi makan lebih banyak dari sebelumnya.

Kisah yang sama dilakukan oleh Bapak Damas (50), warga Kelurahan Paupire, Kecamatan Ende Tengah, Ende. Ia memelihara lima ekor babi. Setiap hari ia mengambil makanan sisa dari beberapa rumah makan yang sudah bekerja sama. Kurang lebih lima ember untuk persediaan makanan babi sehari.

Di tengah pendemi Covid-19 ini, ketika rumah makan sepi pengunjung, Bapak Damas menadah sampah-sampah sayur dan buah di pasar tradisional di kota Ende. Sehari bisa dengan 2-3 karung.

Tidaklah heran, populasi babi di NTT tertinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019, populasinya sebesar 2,4 juta ekor, dari 8,9 juta ekor secara nasional. 

Disusul Sumatera Utara dengan 1,2 juta ekor. Meskipun, produksi daging babi per tahun jauh lebih rendah dari Sumatera Utara dan Bali. Sumatera Utara 53,9 ribu ton, Bali 48,7 ribu ton, dan NTT 38,2 ribu ton.

Umumnya, di NTT sampah sisa makanan untuk babi. Sebuah keuntungan tersendiri jika bertetangga dengan warga non Kristen atau yang tidak memelihara babi. Sisa makanan dikumpulkan dan diambil. Namun, beberapa rumah makan melihat peluang sebagai 'hidden income'. Satu ember dipatok Rp 10.000.

Harga seekor babi di NTT bervariasi. Tergantung berat dan kesepakatan. Anak babi usia tiga bulan diganjar satu juta rupiah. Usia potong 6-8 bulan mencapai 4-6 juta rupiah. Harga ini seimbang jika Rp 80.000 per kilogram. Usia enam bulan bisa mencapai 75 kilogram.

Hasil pelihara babi dapat meningkatkan ekonomi keluarga. Terutama pendidikan anak dan kebutuhan upacara adat/budaya.

Dengan demikian, warga NTT tidak 'berdosa' amat ketika makanan terbuang. Justru menjadi berkah bagi hewan ternak, seperti babi. 

Namun, tetap menjadi sebuah perhatian serius, terutama di tengah krisis ekonomi akibat pandemi ini, sebagai bagian dari solidaritas kepada yang sesama yang lain, yang sedang mengalami kekurangan makanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun