Ayah tidak pernah menyuruh saya supaya rajin membaca koran, namun ibu peka memanfaatkan koran-koran bekas itu untuk menutup cela-cela dinding bambu yang sudah dimakan rayap. Koran-koran itu ditempel dengan lem kanji. Jadilah, hampir seluruh sisi dalam dinding rumah kami adalah koran bekas. Kami pun terlindungi dari angin dingin malam ketika musim hujan tiba.
Kala itu, saya sangat hafal nama-nama Menteri di masa orde baru. Sebut saja, Prof. Dr. Ir. Ing B J Habibie dan Frans Seda-seorang putra Flores. Saya paham tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Saya tahu, Ciliwung adalah sungai terpanjang di Indonesia. Saya kenal, Pulau We adalah pulau di ujung Barat Indonesia. Saya pun hafal, ibukota negara-negara di dunia.
Semua itu sumbernya dari koran-koran bekas yang melekat pada dinding-dinding rumah. Saya senang memberi tanda pada kata yang menerangkan nama Menteri, negara, ibukota dan pulau. Biasanya dengan melingkar atau memberikan garis bawah.
Kapan saja saya masuk rumah, hendak tidur atau bangun, pandangan saya selalu tertuju pada gambar, foto, judul dan baris demi baris kalimat berita dalam koran bekas, yang telah menjadi dinding rumah itu.
Ibu sekolah baca pertamaku. Ia memperkenalkan saya literasi baca melalui koran-koran pada dinding bambu lapuk. Cara ini ampuh, memotivasi saya agar rajin membaca. Membaca tentang apa saja. Sebab, membaca adalah proses untuk menulis. Tanpa membaca, tulisan menjadi dangkal dan tidak bermakna.
Akhirnya, ibu berperan sangat banyak dalam mendidik saya. Saya meneladannya, mulai dari menata keuangan keluarga dengan jujur, beternak ayam kampung dengan sangat ulet, bertani dengan rajin, dan menjadi dokter yang menyembuhkan kami. Ibu pun memperkenalkan saya pada literasi baca tanpa ajakan kata-kata.
Syukur tiada akhir, multi-peran ibu mengantar saya menjadi pribadi yang cerdas dan berkarakter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H