Dalam kalkulasi data-data statistik, Nusa Tenggara Timur (NTT) selalu keluar sebagai daerah termiskin. Namun, label negatif tersebut tidak serta-merta menghapus kisah perjuangan nan inspiratif yang dijalankan oleh penghuninya. Minimal, dalam sebulan terakhir ini, saya belajar dari kisah-kisah yang disajikan Harian Kompas.
Pertama, tentang kepatuhan. Fransiskus Pati Herin, dalam Kompas (14/10/2020), mengisahkan kepatuhan seorang perempuan berusia 63 tahun, bernama Iba yang tetap memakai masker di kala siang terik, melintasi jalan di kampung Fatubesi, Kecamatan Sasitamean, Malaka, NTT.
Kampung Fatubesi berada di pedalaman Pulau Timor, sekitar 256 kilometer dari Kupang, ibu kota NTT. Hingga pertengahan September, Malaka masih berstatus zona hijau atau tidak ada kasus Covid-19. Statusnya kemudian turun menjadi zona kuning saat ada satu warga yang positif Covid-19. Warga itu diketahui baru pulang dari Yogyakarta.
Bukan hanya Iba, warga perkampungan di sekitar Fatubesi dan Sasitamean pada umumnya juga patuh pada protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Mereka terlihat mengenakan masker di jalanan ataupun pada saat berbelanja di pasar tradisional Kaputu, tak jauh dari Fatubesi.
Kedua, tentang perjuangan yang tak kenal lelah. Fransiskus Pati Herin, dalam Harian Kompas (16/10/2020), mengisahkan nenek Klara Hoar Leki (60) yang perkasa di tengah impitan Covid-19.
Nenek Klara berjualan sayur kangkung dengan berjalan kaki, sejauh 9 kilometer, dari kampung Laleten menuju Betun, ibu kota Kabupaten Malaka, NTT.
Jualan sayur dengan berjalan kaki menjadi jurus pamungkas Klara. Ia pun banting harga. Kangkung tanpa pupuk kimia itu dijual sangat murah. Enam ikat Rp 5.000. Dalam satu ikat terdapat belasan batang. Di banyak kota lain, harga satu ikat Rp 5.000.
Betun menjadi pertaruhan terakhir Klara. Ia memilih tak menjual sayur ke pasar, tetapi langsung ke rumah-rumah. Ia tawarkan harga Rp 5.000 untuk lima ikat kangkung, sedangkan di Pasar Betun Rp 5.000 mendapat empat ikat. Untuk pelanggan, biasanya ia menambahkan satu ikat lagi.
Beginilah cara Klara mencoba bangkit atau bertahan dari keterpurukan ekonomi yang diperparah pandemi Covid-19. Ia beruntung sayur di panen dari kebun sendiri.
Setiap kali menjual sayur, ia memperoleh Rp 70.000. Sebelum pandemi, sayuran sering diborong hingga Rp 100.000. Itu sudah cukup untuk bertahan hidup. Klara membiayai dirinya dan tiga cucu yang masih sekolah. Suaminya sudah meninggal.