Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

PSBB, Budaya Literasi dan "Kepala Batu" Kita

18 September 2020   09:15 Diperbarui: 20 September 2020   05:21 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah DKI Jakarta kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara ketat secara sejak 14 September lalu. Hal ini dilaksanakan karena kondisi penyebaran pandemi Covid-19 di DKI Jakarta semakin mengkuatirkan dan ketersediaan sarana kesehatan masih terbatas.

Bukan hanya di ibu kota, di daerah seperti di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, pasien positif terjangkit Covid-19 melonjak.

Sejak awal Kabupaten Ende bertahan cukup lama di status zona hijau. Hingga Mei, 'pecah telur' seorang terkonfirmasi positif.

Bertahan beberapa bulan di angka belasan orang dengan tingkat kesembuhan meningkat. Namun sejak seminggu lalu (12/9), angka terkonfirmasi positif hingga hari ini (18/9) 80 orang positif. Pasien sembuh 19 orang dan tidak ada yang meninggal dunia.

Usaha pemerintah, Pusat maupun DKI dan Ende, dengan segala kebijakannya untuk menginjak 'rem' terhadap penyebaran Covid-19 semakin tidak tampak berhasil.

Ditambah beban anggaran yang tidak kecil untuk menyuruh masyarakat untuk tetap menjaga jarak, memakai masker dan sesering mungkin mencuci tangan.

Di tempat-tempat umum ditulis 'Wajib Pakai Masker', 'Rajin Cuci Tangan'dan 'Jauhi Kerumunan', tapi masih saja terlihat banyak orang tidak menggunakan masker. Jarang mencuci tangan meski sudah tersedia tempat cuci tangan, ember air dan sabun. Dan, kegiatan berkumpul lebih dari 50 orang dengan tanpa menjaga jarak masih tersaji ramai.

Sebulan lalu, saya berangat ke sebuah kota menggunakan pesawat udara. Pagi-pagi saya menuju bandara.

Di pintu masuk ruang cek-in, seorang petugas menegur dengan suara keras seorang bapak paruh baya, karena tidak memakai masker.

Tanpa melawan, bapak itu mengambil masker dari dalam tasnya. Padahal, dari pintu masuk utama hingga masuk ruang cek-in, lebih dari hitungan jari terpasang perintah 'Wajib Pakai Masker'.

Hemat saya, ini bukan soal kedisiplinan diri masyarakat untuk patuh kepada protokol kesehatan Covid-19. Ini soal budaya literasi yang rendah.

Literasi berasal dari kata Latin, 'literatus' yakni orang yang belajar. National Institute for Literacy menjelaskan, literasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.

Mengapa PSBB kembali di berlakukan secara ketat?

Salah satunya, karena masyarakat kita tidak terbiasa dengan budaya literasi, termasuk kemampuan membaca.

Selebihnya, budaya literasi lisan, mesti ada orang yang suruh, baru kita ikut. Itu budaya literasi lisan.

Harusnya, membaca bukan sekedar untuk tahu, tetapi mampu memaknai pesan dari tulisan yang dibaca. Sudah tertulis jelas 'Wajib Pakai Masker' tetapi masih yang tidak menurutinya.

Tidak heran budaya literasi baca kita jauh sangat rendah. Di dunia kita berada pada urutan 60 dari 61 negara. Kita belum lebih baik dari Boswana.

Berhadapan dengan Covid-19 ini semakin menyingkap tabir literasi baca kita yang parah itu. Sementara, ditegur lisan, menggunakan megaphone oleh petugas pun jarang dipatuhi.

Maka, budaya literasi baca yang rendah melahirkan 'kepala batu' (keras kepala), sikap acuh tak acuh yang akut.

Pemerintah, melalui kebijakan PSBB secara ketat, sebenarnya sedang berdarah-darah (membuang tenaga dan biaya eksternal) mengatasi sikap 'kepala batu' masyarakat. Dibutuhkan kerendahan hati setiap individu untuk menghapus sikap 'kepala batu' seperti ini.

Pertama; mengakui bahwa di atas langit masih ada langit. Di atas kemampuan kita, ada orang lain (yang diberi kuasa) untuk mengatur dan melindungi kita. Dialah pemerintah.

Kedua; kesadaran dan kepekaan kita akan hubungan kita dengan sesama yang lain. Mencuci tangan, pakai masker dan jaga jarak adalah cara kita tidak menyebarkan Covid-19 kepada sesama kita yang lain.

Ketiga; kita mengakui bahwa di luar kemampuan-kemampuan kita sebagai manusia, rebahkan hati kepada Sang Ilahi, bahwa kita mau pandemi ini cepat berlalu. Spiritualitas 'merebah' hati kepada kehendak Sang Ilahi mendorong kita untuk patuh-tunduk terhadap protokol kesehatan Covid-19.

Selalu Memakai Masker. Foto Dokumen Pribadi
Selalu Memakai Masker. Foto Dokumen Pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun