Pemerintah DKI Jakarta kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara ketat secara sejak 14 September lalu. Hal ini dilaksanakan karena kondisi penyebaran pandemi Covid-19 di DKI Jakarta semakin mengkuatirkan dan ketersediaan sarana kesehatan masih terbatas.
Bukan hanya di ibu kota, di daerah seperti di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, pasien positif terjangkit Covid-19 melonjak.
Sejak awal Kabupaten Ende bertahan cukup lama di status zona hijau. Hingga Mei, 'pecah telur' seorang terkonfirmasi positif.
Bertahan beberapa bulan di angka belasan orang dengan tingkat kesembuhan meningkat. Namun sejak seminggu lalu (12/9), angka terkonfirmasi positif hingga hari ini (18/9) 80 orang positif. Pasien sembuh 19 orang dan tidak ada yang meninggal dunia.
Usaha pemerintah, Pusat maupun DKI dan Ende, dengan segala kebijakannya untuk menginjak 'rem' terhadap penyebaran Covid-19 semakin tidak tampak berhasil.
Ditambah beban anggaran yang tidak kecil untuk menyuruh masyarakat untuk tetap menjaga jarak, memakai masker dan sesering mungkin mencuci tangan.
Di tempat-tempat umum ditulis 'Wajib Pakai Masker', 'Rajin Cuci Tangan'dan 'Jauhi Kerumunan', tapi masih saja terlihat banyak orang tidak menggunakan masker. Jarang mencuci tangan meski sudah tersedia tempat cuci tangan, ember air dan sabun. Dan, kegiatan berkumpul lebih dari 50 orang dengan tanpa menjaga jarak masih tersaji ramai.
Sebulan lalu, saya berangat ke sebuah kota menggunakan pesawat udara. Pagi-pagi saya menuju bandara.
Di pintu masuk ruang cek-in, seorang petugas menegur dengan suara keras seorang bapak paruh baya, karena tidak memakai masker.
Tanpa melawan, bapak itu mengambil masker dari dalam tasnya. Padahal, dari pintu masuk utama hingga masuk ruang cek-in, lebih dari hitungan jari terpasang perintah 'Wajib Pakai Masker'.
Hemat saya, ini bukan soal kedisiplinan diri masyarakat untuk patuh kepada protokol kesehatan Covid-19. Ini soal budaya literasi yang rendah.