Sejak di sekolah menengah, kami sudah terbiasa dengan bacaan-bacaan yang agak berat. Berat karena memang rumit dan esensial. Rumit di awal bagi saya yang tidak biasa membaca koran/buku. Pula, esensial karena kami sudah tahu, membaca adalah menjelajahi setengah dari luas dunia.
Beberapa buku di perpustakaan sekolah yang masih amat terbatas menjadi rebutan. Di kala, lonceng sekolah berbunyi, menandakan waktu istrahat, waktu 15-30 menit kami gunakan seoptimal mungkin. Kami berlari keluar kelas. Bergegas menuju ruang baca perpustakaan seluas meja ping-pong itu.
Novel-novel karya Y. B Mangunwijaya, John Grisham, Agatha Christie, Mira W, misalnya, menjadi 'santapan lezat', selain karya novelis lokal NTT Maria Banda. Beberapa non-fiksi turut menjadi perhatian.
Tak ketinggalan, Harian Umum KOMPAS. Saya selalu sujud syukur tiada akhir, lantaran sejak di bangku sekolah menengah pertama (SMP), saya sudah mengenal KOMPAS. Saya sudah membacanya di sela-sela waktu istahat jam pergantian pelajaran. Meski, waktu itu, berita yang kami baca sudah daluarsa, sebab baru tiba setelah dua-empat minggu dalam perjalanan. Tetapi tetap menjadi target utama. Hingga kini, saya masih setia membaca KOMPAS dalam versi epaper.
Gaya pemberitaan KOMPAS; headline yang selalu menggugah, kolom analisis yang tajam berbasis data, Tajuk Rencana yang selalu menjadi rujukan kebijakan pemangku kekuasaan, dan tulisan-tulisan dalam Opini yang 'bergizi tinggi' mengingpirasi saya, tidak hanya ketika saya menulis, namun dalam tutur, sikap dan tindakan saya.
Saya merasakan itu, KOMPAS menyiram saya dengan optimisme ketika berjuang dan bertahan dalam hidup. Sajian berita yang mendalam turut menyemai makna terdalam setiap peristiwa hidup yang saya alami. Kisah-kisah inspiratif tokoh menjadi sumur kehidupan, tatkala saya 'kekeringan'semangat dan daya juang.
Maka kepergian Bapak Jakob Oetama (1931-2020), untuk selama-lamanya adalah kehilangan, meski tak sekalipun bersua muka. Ia tidak mengenal saya, tapi saya tahu, dia mencintai orang-orang Flores, termasuk saya.
Jakob pernah ke Flores, NTT pada 4 Februari 2005, datang untuk merayakan HUT ke-79 Bapak Fransiskus Xaverius Seda (1926-2009). Mengenai Flores, Jakob menaruh harapan pada pembangunan Flores. "Padahal Flores itu dulu pemasok guru-guru di Jawa, kok, hasil lulusan SMU-nya rendah sekali", katanya. (St. Sularto, 2015, 'Syukur Tiada Akhir-Jejak Langkah Jakob Oetama', hal. 435).
Keprihatinan Jakob Oetama terasa hingga kini. Di bidang pendidikan, Angka Partisipasi Murni (APM) NTT termasuk sangat rendah. Merujuk pada Statistik Pendidikan 2018 yang diterbitkan BPS, untuk jenjang SD, angkanya masih ter-golong rata-rata, yakni 96,12 persen. Namun, pada jenjang SMP, SMA, dan perguruan ting-gi, APM NTT langsung anjlok. Untuk tingkat SMP sebesar 68,14 persen dan tingkat SMA 53,67 persen. Adapun untuk tingkat perguruan tinggi, APM NTT lebih parah lagi atau hanya 16,69 persen.
Orang Flores, bagian dari NTT, terlanjur bangga karena salah satu putra terbaiknya turut menggagas-rintis KOMPAS; gagasan bermula dari Jenderal Ahmad Yani (1922-1965), disambut baik oleh Frans Seda dan I. J Kasimo (1900-1986) dan dieksekusi dengan sempurna oleh Jakob Oetama dan P.K Oyong (1920-1980).(hal.104).
Di pihak lain, ada 'kesombongan' terselubung, bahwa KOMPAS pernah diselamatkan  oleh orang NTT. Ada persyaratan terakhir agar bisa terbit, setidaknya ada bukti bahwa telah ada pelanggan sekurang-kurangnya 3.000 orang. Berkat bantuan Frans Seda, akhirnya diperoleh 3.000 tanda tangan. (hal. 109). Sebagian besar tanda tangan itu berasal dari Flores, NTT.(Sumber).