Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Trust but Verify

24 Juli 2020   08:04 Diperbarui: 24 Juli 2020   08:01 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Istimewa. Sumber: pixabay.com

Lima belas tahun lalu, di kota Jakarta, kuliah sambil kerja dan membiayai kuliah sendiri itu memang berat. Sebaiknya kau jangan. Kau mungkin tidak kuat. Lebih berat dari rindunya Dilan pada Millea. Juga lebih berat dari cinta segi-tiganya Wongge, Ia dan Meja, dalam legenda Gunung Wongge, Gunung Ia dan Gunung Meja di Ende, Flores.

Berat memang, namun tidak untuk ditangisi, dan kemudian menjadi putus asa. Dua tahun lebih, saya jalani, sekuat kaki berjalan, pernah dari Depok ke Tanjung Priuk. Maklum kala itu, belum punya kendaraan bermotor, ojek jarang. Recehan untuk sewa angkot masih setengah mati. Persiapan hanya cukup untuk nasi sebungkus dan segelas air minum.

Berbekal lowongan kerja dalam beberapa koran ibu kota di dalam tas, saya menjajaki kantor demi kantor, pabrik demi pabrik dan ruko demi ruko. Bekal lain tentu gelar akademik saya, yakni 'sarjana belum tamat' -- begitu pendidikan terakhir yang selalu saya banggakan di depan bagian personalia. Jika ditanya kuliahnya di mana, "di BSI aja" seperti kata Barack Obama dalam sebuah iklan dulu.

'Dapat kerja' yang enak memang sungguh sulit. Tidak semudah mengedipkan alis mata. Awal ditolak terlalu sering. Di janjikan akan telpon balik itu selalu. Dan sering saya terperangkap dalam 'dapat kerja' yang tidak saya pahami sebelumnya. Membingungkan tapi menguji nyali.

Beberapa kali saya mendapat posisi manajer tapi gadungan di kantor (tempat) yang berbeda. Bahkan dengan gelar gadungan. Biasanya S.E atau S.Psi, ditulis setelah nama. Tergiur promosi yang serba enak, saya membayar sejumlah uang. Lalu mendapatkan barang/produk tertentu; dari panci alumunium kena api tetap mengkilat, vacuum cleaner yang bisa menyedot sekantong koin sekali tekan, tongkat kerok yang sekali garuk langsung sendawa (doak), hingga jualan (mengedar) iklan lowongan kerja. Soal yang terakhir ini, gelar gadungan menjadi penting; S.E atau S.Psi. Jujur, saya minat dengan S.E.

Kerjanya begini: setelah diterima kerja dengan membayar sejumlah uang, kami dilatih public speaking dan komunikasi yang lincah selama tiga hari -- di sini saya belajar public speaking, semirip 'Dale Carnegie Course'. Lalu kami terjun ke 'lapangan', istilahnya. Di mana ada keramaian kami harus hadir di sana. Kami megedarkan iklan lowongan kerja di pintu-pintu masuk pusat keramaian. Pernah di suatu hari, kami membagikan iklan lowongan kerja di gerbang keluar sebuah rumah ibadah.

Pelamar kerja dan orang-orang yang kebingungan mencari kerja, lalu mendapatkan iklan ini dengan tawaran posisi dan gaji tinggi pasti tergiur. Ketika pelamar kerja datang ke kantor, kami akan menanyakan tentang darimana peroleh informasi lowongan. Kami cek iklannya. Jika tertulis manajernya saya, maka sayalah yang berhak mewawancaranya. Segala intrik berlaku di sini.

Promosi sekuat tenaga. Saya harus berbusa-busa menjelaskan bahwa dia tidak masuk di tempat yang salah. Bisnis dan usaha ini menjanjikan masa depanmu, meski jauh dari kedalaman nurani, ingin teriak menolak. Tapi pilihannya adalah saya sudah di 'tengah laut', saya dulu pake bayar lalu disuruh kerja seperti ini, apalagi uang itu pake pinjam. Saya sangat termotivasi untuk 'balas dendam'. Itulah mengapa teman-teman dan saya bertahan untuk 'break even point' (balik modal).

Setelah pelamar terperangkap, dia membayar sejumlah uang. Sebagian untuk komisi dan gaji kami, dan yang lain untuk top leader (ini istilah sampai sekarang saya masih bingung). Dia pun melakukan hal yang sama, dan seterusnya.

Waktu itu, hingga akhirnya mendapat kerja yang cukup enak (punya gaji tetap dan lumayan besar), dan bisa menyelesaikan kuliah dengan gelar S.E sungguhan, bisnis jenis ini akhirnya saya paham dari seorang dosen ilmu pemasaran yang cantik, ketika 'ngopi' di pojok kampus setelah kuliah malam.

Dia berpesan, "hati-hatilah dengan bisnis 'member get member' dengan iming-iming yang memikat. Apalagi tanpa produk. Bermodalkan hitung-hitungan bonus dan komisi yang tinggi. Belum sebulan sudah dapat bonus lebih dari modal. Sekarang ini banyak money game dan arisan berantai berevolusi dengan berbagai cara, termasuk berlindung di balik nama koperasi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun