Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara adalah nama pena. Tinggal di Kepi, Desa Rapowawo, Kec. Nangapanda, Ende Flores NTT. Mengenyam pendidikan dasar di SDK Kekandere 2 (1995). SMP-SMA di Seminari St. Yoh. Berchmans, Mataloko, Ngada (2001). Pernah menghidu aroma filsafat di STF Driyarkara Jakarta (2005). Lalu meneguk ilmu ekonomi di Universitas Krisnadwipayana-Jakarta (2010), mengecap pendidikan profesi guru pada Universitas Kristen Indonesia (2011). Meraih Magister Akuntansi pada Universitas Widyatama-Bandung (2023). Pernah meraih Juara II Lomba National Blog Competition oleh Kemendikristek RI 2020. Kanal pribadi: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

COVID-19, Ilmu Ekonomi dan Dana Stabilitas Koperasi Kredit (Credit Union)

8 Juli 2020   14:21 Diperbarui: 8 Juli 2020   14:23 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: CreditUnionTimes (cutimes.com)

Seperti terjadinya gempa bumi, BMKG yang 'isinya' para pakar dalam ilmu bumi dan kegempaan, tahu secara benar penyebab gempa, tetapi tidak tahu secara persis kapan gempa akan terjadi. Para pakar ilmu kesehatan, virulog dan ilmuwan pandemilogi tahu baik asal-muasal virus dan bagaimana ia menyebar, namun hingga kini belum bisa menghentikan pandemi ganas ini. Kaum ekonom juga tahu, pandemi COVID-19 akan berdampak pada krisis, tapi tidak tahu sampai kapan ini akan berakhir.

Pengurus Koperasi Kredit (Kopdit) atau Credit Union (CU)-bisa dikatakan bagian dari ekonom, dalam arti 'pembuat aturan rumah tangga' Kopdit (CU), juga sudah mengetahui bahwa krisis ekonomi akan berdampak pada Kopdit (CU), tapi tidak tahu, kapan berakhir. Hal ini penting, sekiranya Kopdit (CU) bisa mengukur kekuatannya untuk menghadapi gelombang resesi ini.

Di dalam Kopdit (CU) terdapat dana cadangan, dana stabilitas atau apa pun namanya, sebagai benteng perlindungan apabila Koperasi Kopdit (CU) menghadapi 'gangguan' di luar rencana anggaran dan biaya (beban). Pertanyaan penuh dilematis, dana stabilitasi itu bertahan sampai kapan?

Beberapa perusahaan kelas kakap terancam tutup. Ribuan restoran dan hotel gulung tikar. Perusahaan sepatu Nike terpaksa me-PHK-kan secara massal 4.985 karyawannya. KFC hingga Traveloka tanpa segan merumahkan separuh karyawan. Dan STOQO Teknologi Indonesia, sebuah platform online yang memasok bahan-bahan segar ke outlet makanan, dikabarkan tutup (Kompas.com, 8/5). Apakah mereka tidak memiliki dana stabilitas sebagai cadangan untuk membendung dampak COVID-19?

Ekonom tidak sama perannya dengan geolog dan pakar kegempaan. Ekonomi tidak mengambil sikap terhadap isu-isu, misalnya, berapa orang yang positif terjangkit, atau berapa yang meninggak akibat virus ini, namun ada cara ekonomi untuk menghitung berapa energi (beban) untuk mengatasinya. Pengurus Kopdit (CU) tentu tidak mesti mengambil peran seperti gugus tugas percepatan penanganan COVID-19.

Guna mendamaikan seraya memecahkan kebuntuan ekonomi saat krisis ini; ilmu ekonomi menawarkan dua pendekatan. Pertama: pendekatan Keynesian, dan yang kedua: pendekatan Schumpeterian.

Teori Ekonomi Keynesian menawarkan pemecahan krisis ekonomi, yang dicetuskan oleh John Maynard Keynes (1883-1946), berada di pundak pemerintah. Paham ini bertentangan dengan teori ekonomi klasik yang mengharamkan peran pemerintah. Bagi Keynesian, pemerintah mesti mampu memberikan solusi di tengah krisis. BLT adalah salah satu contoh paham Keynesian ini dilaksanakan. Sebab menurut Keynes, solusi mengatasi krisis ekonomi adalah meningkatkan permintaan masyarakat demi mengurangi pengangguran dan deflasi. Jika pemerintah mengucurkan sejumlah pengeluaran, uang yang beredar di masyarakat akan bertambah, sehingga mendorong konsumsi (belanja) masyarakat naik. Tabungan masyarakat pun bertambah sehingga memungkinkan investasi tetap berjalan.

Selain berbagai protes deras mengalir sebagai kritik atas teknis prosedural dari pembagian BLT, argumen pendekatan Keynesian juga mendapat kritik tajam, misalnya dari ekonom Milton Friedman. Menurut Milton Friedman, pemerintah juga turut terkena dampak dari setiap krisis ekonomi. Penurunan penerimaan negara, akibat dari insentif pajak, misalnya.

Pendekatan ilmu ekonomi kedua adalah pandangan Schumpeterian, oleh Joseph A. Schumpeter (1883-1950). Joseph A. Schumpeter dan J. M Keynes sebenarnya seumur, terutama mencetuskan teori ilmu ekonomi di tahun 1930, ketika terjadi resesi ekonomi global. Namun pandangan Schumpeter tidak populer karena belum adanya teknologi informasi dan komunikasi, sebagaimana kita di era 4.0 ini.

Kehadiran teknologi digital memastikan logika ekonomi Schumpeter. Kemajuan teknologi mendorong inovasi. Menurut Schumpeter, teknologi berperan mendukung bukan hanya aktivitas dari rumah (work from home) tapi mengupayakan bertransaksi dari rumah (transact from home). Menjamurnya bisnis online, salah satu inovasi dan kreasi ekonomi di masa pandemi COVID-19 ini.

Bagaimana dengan Kopdit (CU)? Hemat saya dua pendekatan ilmu ekonomi di atas bisa menjadi alternatif solusi. Bukan dengan kucuran dana (pinjaman berbunga kecil kepada Kopdit (CU), Pemerintah bisa membantu Kopdit (CU) lewat insentif pajak yang berkelanjutan, sebab kita tidak tahu kapan pendemi berakhir. Dan, keberlanjutan Kopdit (CU) terletak pada pendekatan Schumpeterian -- bukan pada dana stabilitas yang besar, tapi pada usaha pelayanan Kopdit (CU) yang inovatif dan kreatif. Kopdit (CU) mesti menyesuaikan diri dan memanfaatkan teknologi tanpa melupakan jati diri, nilai dan prinsip dasarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun