Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

"New Normal" dan Spiritualitas "Passing Over"

31 Mei 2020   11:00 Diperbarui: 31 Mei 2020   21:13 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber gambar: dreamstime.com, diakses 31 Mei 2020

Dalam siklus kehidupan manusia, kita mengenal lingkaran kehidupan manusia. Mulai dari masa sebagai seorang janin, dikandung dalam rahim seorang ibu, hingga masa tua, dan akhirnya meninggal dunia. Seorang janin, dilahirkan ke dunia setelah sembilan bulan dalam perut, bukan karena dia tidak betah dalam kandungan, melainkan karena memang saatnya dia harus beralih ke kehidupan baru. Kita mengatakan, memang sudah waktunya dia harus dilahirkan, karena begitulah siklus kehidupan.

Setelah menyandang status sebagai bayi, lalu balita. Pada masa ini seorang anak mulai belajar dan mengenal sesama dan lingkungannya. Ia belajar beberapa kosakata, lalu membentuk rangkaian ucapan, yang kita biasa bilang, dia sudah mulai berbicara.

Menjadi balita adalah proses belajar untuk memasuki sebuah era baru, yakni masa kanak-kanak. Era kanak-kanak ini dikenal dengan masa bermain. Bekal belajar kosakata dan pengenalan beberapa obyek pada masa sebelumnya membuat seorang anak bisa beradaptasi, bergaul dan berbicara dengan dengan teman-temannya.

Tahap selanjutnya anak mulai masuk masa puber, usia belasan. Secara psikologis, di usia ini anak mulai mengenal dan belajar tantangan. Ia menghadapi masalah-masalah dalam kehidupannya, baik dengan dirinya sendiri maupun orang lain. Masalah dengan diri sendiri termasuk jatuh cinta dan perubahan seksualnya. Maka kita sering mengatakan, masa ini sebagai masa ‘angin ribut’, masa sang remaja menemukan diri, dengan belajar mengatasi ‘problem solving’.

Setelah masa remaja, kita mulai jatuh cinta, dalam arti menemukan pasangan hidup, untuk menikah dan membangun bahtera rumah tangga. Kita memasuki kehidupan baru (new life) dengan kenormalan-kenormalan yang baru. Dalam kehidupan perkawinan kita mengalihkan norma lama masa ‘angin ribut’ ke norma baru (new normal) kehidupan perkawinan. Dan ketika diberikan karunia sang buah hati, kita pun memasuki era baru dengan tambahan tugas, mendidik anak dengan seluruh doa dan permohonan kita: semoga ia berkembang menjadi anak yang baik.

Dan akhirnya kita memasuki masa tua, masa kakek-nenek. Kita beralih dari masa sebelumnya. Sebagai kakek-nenek sebenarnya masa kita rileks, agak santai, sambil mempersiapkan diri memasuki kehidupan setelah kematian. Kita paham, misalnya, pada saat ini mereka begitu rajin berdoa, sebagai persiapan kematian.

Begitulah roda kehidupan kita manusia, semua sama tak terkecuali. Setiap kesuksesan dan kegagalan dalam hidup itu hanya ‘bunga’ dalam taman bernama kehidupan. Dari lahir sampai mati, dari janin-bayi hingga kakek-nenek lalu mati, adalah kepastian dalam hidup. Kaum beragam akan bilang takdir/digariskan Tuhan, dan penyuka filsafat akan bilang ini ‘adanya manusia dengan segala keteraturannya’.

Merefleksikan kembali roda kehidupan di atas, saya akhirnya memahami, hidup kita sebenarnya bagian dari new normal yang tak dapat dilepasjauhkan. Setiap tahap/masa kehidupan adalah new normal-new normal itu. Ketika kita beralih dari bayi ke anak-anak, misalnya, kita memasuki new normal. Kita senantiasa beralih tentu dengan kenormalan-kenormalan baru, tanpa meninggalkan kosakata/bahasa yang telah kita belajar di masa bayi. Atau ketika masuk masa hidup berkeluarga, misalnya, kita tak mungkin menghujat/memaki masa remaja, seperti ‘daun yang jatuh tak pernah membenci angin’-pinjam kata-kata Tere Liye.

Maka, ketika menghadapi masa pandemik covid-19, pemerintah memberlakukan PSBB, lalu bersiap ke tahap ‘new normal’, sepikir saya, kita sudah terbiasa dengan kehidupan yang senantiasa beralih (passing over). Passing over adalah kesadaran akan pentingnya semangat atau kemampuan untuk senantiasa beralih (John Dami Mukese, dalam ‘Agama Flores, Politik Flores’-Frans Obon, 2012). Dalam konteks religius, konsep ini dipahami sebagai sebuah spritualitas beralih, yakni kemampuan spiritual seseorang untuk gampang beralih dari suatu tempat atau situasi ke tempat atau situasi yang lain. Spiritualitas passing over memampukan kita beralih ke suatu tempat atau situasi baru tanpa melupakan tempat atau situasi sebelumnya. Spiritualitas passing over membiasakan kita belajar dari masa lalu, beradaptasi dengan masa sekarang, lalu berdinamika/fleksibel dalam menghadapi masa yang akan datang. Spiritualitas passing over lebih menjadi habit baru pasca masa PSBB.

Jadi, dengan pandemi covid-19 ini kita mesti beralih ke status new normal. Sebab kita semestinya sudah biasa dengan new normal dalam kehidupan-kehidupan kita. Tidak perlu banyak protes, tidak perlu ragu jika new normal menjadi new-‘sahin’  (menyusahkan), yang penting kita memiliki spiritualitas passing over (spiritulitas beralih). Sebab, spiritualitas passing over akan mempertemukan kita dengan alternatif-alternatif solusi cerdas, yang mungkin tidak kita duga sebelumnya.

Selamat merayakan Pentakosta-bagi yang merayakannya. Selamat ‘beralih’ !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun