Gadis pelayan toko itu menyebutkan ulang, “kosong, delapan, satu...”
“Hah, tidak, nona” cegat kau pasang muka sedikit bingung. “Nol, delapan, satu, dua, tiga, enam, empat, empat dua,....(dst.)”
“Iya, om guru, sama saja, nol dengan kosong tu, om guru”
“Haaaaahhhh.” Kau nampak agak kaget sendiri.
Seketika ledakan tawa pengunjung lain memecah di toko jual handphone itu. Gadis pelayan itu hanya mengulum senyum simpul-simpul renyah, entah sekedar menahan tawa. Dan kau tetap kuat bertahan tanpa tersenyum. Sebagai guru matematika, kau tahu ‘nol’ dan ‘kosong’ itu beda jauh bermil-mil. Bisa juga memperdebatkan dengan dalil filsafatmu dari Bukit Rita, yang kau dalami kandas di semester empat dulu.
Kecewa, itu pasti karena di toko jual handphone tak butuh logika dan filsafat. Mereka hanya butuh untung dan rugi. Dan itu wilayah ekonomi ‘kan. Bukan matematika, apa lagi filsafat.
Jauh di dasar hati, kau kuatkan tekad, agar pulang ke Malafai, mengajarkan tak hanya sekedar mereka lulus UN. Kau janji, matematika adalah seni keseharian hidup. Dan kau menemukan analogi ini; misalkan ada keranjang berisikan 10 telur kalau dikeluarkan kesepuluh telur tersebut, maka keranjang itu menjadi kosong, dan banyaknya telur dikeranjang yang kosong itu adalah nol.
Kau sangat paham tentu. Logika matematika tak sesulit menebak arus banjir kali menuju Malafai. Kau gusar menunggu banjir surut. Anak didikmu di sana, di Malafai, sedang menunggu. Ini sulit.
***
Di suatu pagi yang lain, kau datang lagi ke Kota Bajawa. Dan kita bertemu di sebuah tempat, yang biasa kita sebut tempat inspiratif. Tersaji gaya bicara dan canda khas mantan penghuni Lembah Sasa. ‘Baku de’i’ (kelakar) dan ‘maki’ keluar otomatis, begitu cara kita mengeratkan persahabatan. Meramu cerita lucu semasa berseragam putih abu-abu, dibumbu hiperbola setinggi tiang jemuran asrama, itu membuat kita tertawa lepas.
Kau begitu riang. Kau gembira. Tak tampak lagi urat-urat beban berat, yang melilit di dahimu. Kau puas. Sambil kau berkata, ‘kopi’ selalu nikmat. Lalu menyeruput kopi Bajawa, yang aromanya kuat dan berani itu. Kau benar, seteguk rasa kopi adalah persahabatan. Aromanya adalah rasa rindu kita ‘tuk berbagi kisah.