September biasanya tak semendung ini. Ia cerah menawan. Rupanya indah merona. Ia hadir tanpa gerimis yang terus merintik dan hujan yang membanjir tanah. September semestinya tak membuat parit-parit wajah basah kuyup, dengan kekesalan mendalam, dengan kesedihan dan dengan airmata, dengan luka dan kehilangan.
Perempuan beranak satu itu meraih sebuah pigura, yang dipajang pada dinding ruang tamu. Berdebu. Ia mengusap dengan telapaknya, dengan airmata yang masih menetes. Mungkin sejak lama, tak pernah dibersihkan. Untung dilapis kaca, agar foto dalam pigura itu tak luntur dan rusak. Lalu kembali masuk di kamarnya.
Digenggamnya erat pakai dua tangan. Perempuan beranak satu itu lalu menatap wajahnya sendiri sangat dalam. Ia tersenyum sedetik ketika membayangkan dulu ia nampak cantik, ranum senyumnya dengan dua bola mata seindah biji kalereng kristal, dengan bibir tebal hitam dibalut lipstik berwarna nude; terlihat natural dan elegan.
Tak lama, tatapan sendu memarkir lagi di raut penuh sedih, tentang seorang lelaki yang merangkulnya dan menatapnya berani. Ia memeluk dengan gagah. Nampak perkasa selayak pelindung yang setia. Dan tertulis kata-kata indah di sisi bawah pigura itu, meminjam kalimat bijak penyair; Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Hati bagai dihujam tombak. Hancur dan berserakan. Membaca syair pujangga itu hanya membuat perih. Perempuan beranak satu itu berbisik lirih. Ia mengutuk lelaki yang menatapnya dengan berani itu, sambil menulis pada secarik kertas; kau hanya ingin mencintaiku dengan tubuh, seperti kata yang tak sempat diucapkan puisi kepada bibir yang membuatku mendesah, seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan tangan kepada raga yang membuatku mengerang.
Prakkk! Perempuan beranak satu itu menjatuhkannya dengan sangat keras, ke lantai kamarnya. Kaca pigura itu pecah. Selembar foto yang terlepas, diambilnya, dan dirobek sehancur-hancurnya.
Ia meraih lagi pemantik gas dari pojok kamarnya, dekat Patung Bunda Maria, tempatnya selalu berdoa sujud. Ia membakarnya. Asap sepenuh kamar. Hingga sobekan-sobekan foto itu menjadi debu. Perempuan beranak satu itu menarik secarik kertas, menulis; cinta itu adalah sakit, ketika mencintaimu dalam ketiadaan, dan sayang itu adalah luka ketika merindukanmu dalam kehilangan.
Bulan ‘sapta’ itu penuh luka, September adalah kepedihan bagi perempuan beranak satu, sebab lelaki itu telah pergi, menikah dengan perempuan lain. Tinggallah ia merengkuh pedih dalam kamar hening, bersama sang anak yang masih kecil.
Dan setiap malam, beranjak menutup mata, sang anak kecil yang lelap selalu dibisikkan sebaris doa; “tumbuhlah menjadi lelaki setia, hingga kau ‘kan tahu, airmata pedih tak selalu ditakdirkan untuk perempuan, seperti ibumu.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H