Historia Docet. Sebuah pepatah Latin ini mengema dalam palung hati saya yang terdalam, ketika langkah demi langkah kaki menuruni anak tangga menuju kampung megalitikum 1.200 tahun itu.Â
Hanya di Bena, sejuk mengusir terik sang surya, semilir udara gemericik di antara rumpun-rumpun bambu. Awan diam sambil mengintip dari Puncak Inerie. Seakan mengingatkan saya bahwa sejarah adalah pembelajaran paling berharga. Dan di kampung Bena, saya menemukan itu.
Saya menuju sebuah rumah di ujung utara pintu masuk kampung itu. Rumah panggung itu sebagai tempat registrasi. Dua orang ibu melempar segumpal senyum ramah. Mereka mempersilahkan saya bersama teman mengisi buku tamu dan membayar karcis masuk. Kami dikenakan selendang kecil, sebagai tanda pengenal pengunjung.
Di area kisanata terdapat ngadhu dan bhaga. Ngadhu adalah tiang kayu memanjang yang diukir dengan motif sawa. Beratap alang-alang dan ijuk, dengan dua tangan memegang pedang dan tombak. Ngadhu sebagai wujud nenek moyang laki-laki suatu suku/klan. Sementara bhaga adalah bangunan segi empat beratapkan alang-alang, berbentuk rumah adat bagian dalam (one sa’o).
Ukurannya lebih kecil. Bhaga adalah wujud nenek moyang perempuan sebuah suku/klan. Tentang keduanya, saya kemudian tahu, sejarah tidak hanya diwariskan lewat tulisan dan tutur lisan. Sejarah adalah sesuatu dan benda mati. Namun bisa berbicara banyak soal hak dan keturunan.
Selain ngadhu dan bhaga, di area kisanata terdapat beberapa kubur batu. Juga terdapat batu-batu yang disusun seperti meja sebagai tempat menaruh persembahan dan sesaji.
Setiap klan/suku di kampung Bena mempunyai rumah keluarga inti (sa’o meze) nenek moyang perempuan disebut sa’o saka pu’u. Rumah ini ditandai dengan miniatur bhaga di atas atap. Masing-masing tepi atapnya dipasang tusuk rambut, terbuat dari bambu dengan kelapa muda sebagai pangkalnya. Mereka menyebutnya ana ie.
Rumah inti nenek moyang laki-laki dinamakan sa’o saka lobo. Rumah ini dikenal dengan patung pria berbalut ijuk sambil memegang parang dan tombak. Patung ini terpasang di atas rumah. Selain dua jenis rumah di atas, juga terdapat rumah pendukung yang disebut kaka pu’u, dhai pu’u dan kaka lobo, dhai lobo. Rumah ini tidak mempunyai figur yang dipasang di atas atapnya.
Rumah bukan sekedar tempat berdiam, bagi penduduk Bena, rumah merupakan simbol keberadaannya. Rumah sebagai tempat berkumpul bersantai dan menyelesaikan secara bersama-sama persoalan dalam kampung. Rumah adalah tempat petuah-petuah dipesankan kepada anak cucu.
Area sa’o umumnya dibagi menjadi tiga bagian, yakni teda moa, teda one dan one sa’o. Teda moa sebagai balai-balai luar, tempat yang digunakan dalam situasi yang lebih santai. Teda moa juga sebagai tempat perempuan menenun dan menjaga anak-anak. Teda one diperuntukkan pertemuan keluarga yang resmi, seperti menerima tamu.
Bagian yang lebih dalam adalah one sa’o. Terdapat sebuah anak tangga kecil (tangi) untuk memasukinya. Pusat setiap rumah ini terdiri dari tujuh papan pada setiap sisi dinding. Dengan demikian terdapat dua puluh delapan lembar papan seluruh sisi dinding sa’o. Pengait antar dinding dan kayu tidak menggunakan logam seperti paku.