Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pesan Kehidupan dari Kampung Adat Bena, Flores

6 September 2016   11:32 Diperbarui: 6 September 2016   19:40 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu kubur batu di Bena. Foto: Roman Rendusara

Historia Docet. Sebuah pepatah Latin ini mengema dalam palung hati saya yang terdalam, ketika langkah demi langkah kaki menuruni anak tangga menuju kampung megalitikum 1.200 tahun itu. 

Hanya di Bena, sejuk mengusir terik sang surya, semilir udara gemericik di antara rumpun-rumpun bambu. Awan diam sambil mengintip dari Puncak Inerie. Seakan mengingatkan saya bahwa sejarah adalah pembelajaran paling berharga. Dan di kampung Bena, saya menemukan itu.

Saya menuju sebuah rumah di ujung utara pintu masuk kampung itu. Rumah panggung itu sebagai tempat registrasi. Dua orang ibu melempar segumpal senyum ramah. Mereka mempersilahkan saya bersama teman mengisi buku tamu dan membayar karcis masuk. Kami dikenakan selendang kecil, sebagai tanda pengenal pengunjung.

Seorang ibu menerima kami dengan ramah. Foto: Roman Rendusara
Seorang ibu menerima kami dengan ramah. Foto: Roman Rendusara
Meski tidak ditemani pemandu, kami menyisir garis-garis pinggir kisanata (halaman kampung) itu.  Decak kagum membuncah tepat pada batu-batu yang tersusun membentuk tembok dan sangat rapi. Kisanata dibangun bertingkat, menyiratkan pembagian kelas sosial dalam kampung berdasarkan suku/klan.

Di area kisanata terdapat ngadhu dan bhaga. Ngadhu adalah tiang kayu memanjang yang diukir dengan motif sawa. Beratap alang-alang dan ijuk, dengan dua tangan memegang pedang dan tombak. Ngadhu sebagai wujud nenek moyang laki-laki suatu suku/klan. Sementara bhaga adalah bangunan segi empat beratapkan alang-alang, berbentuk rumah adat bagian dalam (one sa’o).

Ukurannya lebih kecil. Bhaga adalah wujud nenek moyang perempuan sebuah suku/klan. Tentang keduanya, saya kemudian tahu, sejarah tidak hanya diwariskan lewat tulisan dan tutur lisan. Sejarah adalah sesuatu dan benda mati. Namun bisa berbicara banyak soal hak dan keturunan.

Selain ngadhu dan bhaga, di area kisanata terdapat beberapa kubur batu. Juga terdapat batu-batu yang disusun seperti meja sebagai tempat menaruh persembahan dan sesaji.

Salah satu kubur batu di Bena. Foto: Roman Rendusara
Salah satu kubur batu di Bena. Foto: Roman Rendusara
Kampung Bena menyerupai bentuk perahu. Panjang melengkung, bagian tengah melebar. Terdapat 45 rumah adat mengitarinya. Sembilan suku mendiam rumah-rumah adat itu. Mereka adalah suku Dizi Ka’e, Wato, Deru Solomai, Deru Lalulewa, Bena, Ago, Ngada, Dizi Azi dan Kopa.

Setiap klan/suku di kampung Bena mempunyai rumah keluarga inti (sa’o meze) nenek moyang perempuan disebut sa’o saka pu’u. Rumah ini ditandai dengan miniatur bhaga di atas atap. Masing-masing tepi atapnya dipasang tusuk rambut, terbuat dari bambu dengan kelapa muda sebagai pangkalnya. Mereka menyebutnya ana ie.

Rumah inti nenek moyang laki-laki dinamakan sa’o saka lobo. Rumah ini dikenal dengan patung pria berbalut ijuk sambil memegang parang dan tombak. Patung ini terpasang di atas rumah. Selain dua jenis rumah di atas, juga terdapat rumah pendukung yang disebut kaka pu’u, dhai pu’u dan kaka lobo, dhai lobo. Rumah ini tidak mempunyai figur yang dipasang di atas atapnya.

Dengan senyum ramah seorang ibu melayani kami membeli buah. Foto: Roman Rendusara
Dengan senyum ramah seorang ibu melayani kami membeli buah. Foto: Roman Rendusara
Setiap rumah terdiri dari tiga bagian yakni lewu, sa’o dan iru. Lewu adalah kolong rumah panggung, dengan tiang kayu penunjang di atas tanah. Sa’o adalah bagian lantai rumah beserta dindingnya. Sedangkan iru adalah bagian atap rumah yang terbuat dari alang-alang dan bambu.

Rumah bukan sekedar tempat berdiam, bagi penduduk Bena, rumah merupakan simbol keberadaannya. Rumah sebagai tempat berkumpul bersantai dan menyelesaikan secara bersama-sama persoalan dalam kampung. Rumah adalah tempat petuah-petuah dipesankan kepada anak cucu.

Area sa’o umumnya dibagi menjadi tiga bagian, yakni teda moa, teda one dan one sa’o. Teda moa sebagai balai-balai luar, tempat yang digunakan dalam situasi yang lebih santai. Teda moa juga sebagai tempat perempuan menenun dan menjaga anak-anak. Teda one diperuntukkan pertemuan keluarga yang resmi, seperti menerima tamu.

Bagian yang lebih dalam adalah one sa’o. Terdapat sebuah anak tangga kecil (tangi) untuk memasukinya. Pusat setiap rumah ini terdiri dari tujuh papan pada setiap sisi dinding. Dengan demikian terdapat dua puluh delapan lembar papan seluruh sisi dinding sa’o. Pengait antar dinding dan kayu tidak menggunakan logam seperti paku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun