Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Pelajaran Keuangan Tanpa Memberi Uang

8 Juli 2016   14:04 Diperbarui: 8 Juli 2016   14:11 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEORANG teman, sedang belajar di Australia terkagum-kagum ketika melihat secara langsung kehidupan keluarga orang Australia dan bagaimana mereka mendidik anak-anak mereka tentang uang. Setiap hari akhir pekan adalah hari keluarga. Mereka mengajak anak-anak pergi ke pasar-pasar, bukan ke mal dan pusat perbelanjaan yang super elit. Ke pasar, bukan untuk belanja sayur, tahu-tempe dan ikan kering melainkan para orangtua mendidik anak-anak mereka untuk belajar bersosialisasi dan bertemu sua dengan banyak orang di pasar. Bagi mereka, pasar bukan sekedar transaksi uang, tetapi juga transaksi keakraban sebagai teman dan komunitas. Dan lebih mengherankan, begitu cerita teman saya, tidak terlihat anak-anak menangis dan atau meminta-minta dibelikan mainan, permen karet atau makanan ringan.

Cerita yang hampir sama datang dari negeri seribu apartemen Hong Kong. Para orangtua mendidik anak-anak mereka bukan dengan uang. Anak-anak mereka sudah terbiasa membawa bekal dari rumah, lunch box. Tidak ada jatah uang jajan setiap hari. Ketika liburan akhir pekan, mereka mengajak anak-anak mereka ke tempat wisata, berekreasi ke pantai dan ke kebun binatang. Saat ke tempat belanja, tidak pernah anak-anak mereka meminta untuk dibelikan mainan atau makanan ringan. Kalau pun anak mereka meminta bukan dengan merengek sambil memaksa. Tetap dibelikan sesuai kebutuhan, bukan keinginan. Bahkan meski punya mobil pribadi, mereka mendorong anak-anak untuk menggunakan transportasi umum dan jalan kaki.

Sangat kontras terjadi di Indonesia. Sesekali saya ke kampung, sangat sering anak seusia setahun, dua dan tiga tahun, pagi-pagi buta sudah menangis sekeras-kerasnya, minta dibelikan jas-jus. Meski ayam belum lompat dari tempatnya bertengger, tangisan itu kadang membangunkan orang dewasa yang sedang tidur pulas. Kadang meronta, agar orang tuanya segera membelikan jas-jus di kios tetangga kampung. Orangtua yang ‘baik hati’ pun mengalah. Segera memberikan selembar dua ribu rupiah atau lima ribu rupiah. Tangisan pun langsung berhenti mendadak seperti mobil rem.

Empat tahun terakhir, Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit) Flores Mandiri tak henti-hentinya mendorong dan memotivasi generasi emas Flores untuk menggunakan uang jajan dari orang tua dan siapa pun, secara bijak dan bertanggung jawab.  Puskopdit Flores Mandiri menyadari, anak-anak sekarang sejak bayi sudah diberi uang. Saat anak-anak menangis, segera orangtua panik, mencari satu dua lembar seribu dua ribu rupiah, biar sang anak berhenti menangis. Sudah biasa, anak bocah tidur sambil pegang uang. Anak SD tidak mau pergi sekolah kalau belum dikasih lembaran dua ribu. ASI digantikan dengan uang. Bekal jagung goreng, seperti kami dulu, sudah digadaikan dengan lembaran rupiah bergambar Pengeran Antasari hingga Sultan Hasanudin.

Makanya Puskopdit Flores Mandiri mengemaskan pesan itu dengan kegiatan Temu Akrab Anak-Anak Insan Kopdit. Setiap tahun dilaksanakan bertepatan dengan liburan sekolah. Seperti tahun ini, berlangsung tanggal 03-06 Juli 2016, di Hotel Flores Mandiri, Ende, Flores-NTT. Tidak lain, Puskopdit Flores Mandiri menyadari, anak-anak adalah generasi emas, generasi penerus. Sejak dini, anak-anak mesti dilatih tentang uang. Mereka harus membuat buku kas harian. Mereka mencatat setiap penerimaan uang jajan dari orangtua dan siapa pun secara sederhana. Besar harapan, anak-anak menjadi rajin menabung dan mempersiapkan masa depan bagi dirinya sendiri.

Bahkan Robert Kiyosaki, dalam bukunya “Why ‘A’ Students Work for ‘C’ Students and ‘B’ Student Work for the Goverment” (2015) secara tegas mengajak, beri anak anda pelajaran awal tentang keuangan tanpa memberi mereka uang. Uang memang penting, tapi bagi Kiyosaki, uang tidak menjadikan seseorang kaya. Makanya, tuntunlah anak-anak bahwa pikiran mereka yang menjadikan kaya, bukan uang mereka. Kaya tidak berhubungan dengan uang, kaya berhubungan dengan kesadaran kita akan ‘kondisi kaya’ tersebut. Bagi penulis best seller‘Rich Dad, Poor Dad ‘ ini, menggunakan uang secara bijak itulah yang membuat seseorang kaya dan sukses.

Pesan inspiratif Kiyosaki di atas, adalah spirit Puskopdit Flores Mandiri untuk mendidik anak-anak Kopdit mencatat setiap penerimaan dan pengeluaran uang, menggunakan secara bijak serta mempertanggungjawabkan secara benar kepada orangtua pada saat  WEN (Wealth Education Night) atau Malam Pendidikan Kekayaan.

Akhirnya, mari kita mendidik anak-anak kita tentang uang tanpa memberi mereka uang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun