Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pluvia, Kau Gadis Pusaka Rinduku

15 Januari 2016   09:58 Diperbarui: 15 Januari 2016   10:24 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rerumputan yang meranggas. Foto diambil di Jalan Aimere-Paukate, Ngada, Flores (dokRoman)

RASA ini, seperti aku sedang jatuh cinta. Gelombang rindu menggulung-gulung seperti ombak Laut Sawu. Lalu menerjang keras batu-batu karang Arubara, menempias dan mencumbu bibir Nanganesa. Nafsu membara, melumat paksa batu-batu Penggajawa. Hingga meresapi nikmat tak terpejam di pesisir Nangapanda.

Sungguh, rindu yang tak bisa aku hindari. Ia terus-menerus menghempas, masuk dan meresap ke dalam hati. Kusujud sembah memohon restu Sang Khalik. Datanglah kau, bersandarlah pada dada kurusku yang tak lagi tumbuh bulu-bulu. Segera bertengger pada pundak dan bahu semasih belum merapuh. Hinggapi di lenganku sebelum dipatahkan. Lalu, resapi rinduku yang menggebu-gebu di seluruh tubuhku.

Jangan malu-malu, tidak perlu takut semua mata memandangmu. Rapatkan wajahmu pada wajahku hingga dua bibir kita berpaut. Hinggapi batang hidungku yang tidak mancung, akan kupaksakan kau berenang-renang di dua kolam bola mataku. Meski airmataku hampir kering, menangis setiap senja menepuk Magrib, meratap menjelang Isa berdendang, lalu ia mengering sepanjang hari.

Aku sungguh jatuh cinta padamu. Andai kau tidak datang, ragaku melayang. Nyawa merenggang. Jiwa meranggas. Kering dan kerontang dadaku. Bulu-bulu terpaksa mati tak subur. Lengan terpatah dan berantak. Pundak merapuh. Wajahku sudah pasti berubah sewarna ‘Tiwu Ata Bupu’ Kelimutu. Hitam dan menggosong. Hingga kau tak mungkin mengenali lagi.

Segeralah datang kau pusaka rinduku, gadis pujaan hatiku. Aku cinta kamu, te amo, i love you, ich liebe dich, je vous aime, wǒ ài nǐ dan “jao fonga ne’e kau” (Ende). Dan tentang semua rindu dan cinta ini, kupanggil kau, Pluvia. Iya, Pluvia, sebab kau adalah hujan.

============

Catatan: Pluvia (Latin), berati hujan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun