Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Media, ‘Amplop’ dan Pelacuran Integritas

2 Desember 2015   14:39 Diperbarui: 2 Desember 2015   15:21 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

---sebuah kritik kepada 'aku'---

Beberapa hari terakhir ini, ketika kasus ‘papa minta saham’ menyeruak dan menarik perhatian publik, ada saja beberapa media terkenal; televisi dan media online seakan tidak turut ribut. Justru terbaca jelas mengupayakan menutup rapat kasus ini. Media–media ini lebih sibuk hal–hal lain yang belum terlalu penting, tidak substantif. Terkesan, lebih dipaksakan, untuk membesar–besarkan sesuatu berita dan penggiringan opini publik ke opini yang lain, lalu dengan segera melupakan isu penting yang lebih besar. Saya cukup mengambil dua contoh, soal pembelian helikopter untuk presiden dan kenaikan TDL (tarif dasar listrik).

Anehnya, meski berita pertama dibantahkan pihak penerangan TNI-AU bahwa pesawat ini dibeli bukan untuk presiden, masih juga presenter cantik nan ‘tidak cerdas’ membolak-balik kalimat untuk bertanya, hanya untuk membenarkan topik berita ‘pembelian pesawat presiden’. Ini yang kadang buat saya tertawa ‘lucu-lucu geli bagaimana gitu’. Juga soal kenaikan TDL, dijelaskan tidak semuanya naik, hanya untuk pelanggan 1300 VA, sedangkan TDL untuk rakyat miskin justru menurun. Namun pemberitaan media televisi ini memang beda, lebih fokus ke ‘listrik naik’ lalu lupa dengan detail–detail lain. Sekali lagi, saya ‘ngakak’ lebar–lebar. Bagi saya, fenomena pewartaan seperti ini menyesatkan, bahkan jauh dari harapan publik akan pemberitaan yang cerdas, elegan dan mencerahkan.

Terhadap dua bentuk penggiringan opini publik di atas, maka benar sudah apa yang pernah diulas oleh Rhenald Kasali: jangan sampai media-media seperti ini adalah pasukan bodrek. Istilah ‘pasukan bodrek’ merujuk kepada kelompok wartawan (tahun 1980-an) yang biasa berkumpul di kantor–kantor humas pemerintahan, seminar atau konferensi pers, yang mereka tahu ada ‘amplop’-nya (Let’s Change:2014). Maka bisa ditebaknya beritanya seperti apa, tentu sesuai asal dan isi amplop itu.

Inilah gejala bahwa sebuah media pemberitaan baik televisi maupun koran (cetak bahkan online) tidak lagi independen. Topik, isi serta pilihan kata-kata yang diramu menjadi berita tergantung pesan sponsor.

Nampak pula, virus pasukan bodrek ini meracuni tidak hanya media televisi dan koran, tetapi merengsek masuk dalam pribadi–pribadi yang tidak bertanggung jawab. Terlebih, menjelang pemilukada serentak di beberapa daerah di Indonesia, termasuk NTT, barisan pasukan bodrek berjejer rapi dalam akun – akun palsu dunia maya. Mereka mencaci-maki dan memfitnah paket calon tertentu. Dengan akun palsu mereka bebas mencaci –maki dan mengeluarkan ‘seluruh isi kebun binatang’ untuk menyerang paket calon lain.

Bisa ditebak, mereka tentu dibayar, paling kurang dengan sebungkus nasi 3T (telur, tahu, tempe), sebatang rokok atau sekedar untuk uang isi bensin. Namun hati–hati, barisan pasukan bodrek sangat oportunis, lihai menggunakan kesempatan, hari ini paket calon A dan besok bisa berbeda. Tentu dengan ganti topeng, ganti nama akun, orangnya tetap sama, hanya demi menggepok rupiah di ajang lima tahunan itu.

Sampai di sini, berbagai media massa: televisi, koran, media online dan dunia maya seperti facebook sudah disalahgunakan. Pemberitaan dan status jauh dari-panggang api-substansial dan mencerdaskan. Berbagai opini sangat dekat dengan fitnah dan caci maki. Debat-debat tidak lagi berbobot malah debat kusir dipertontonkan, dan cenderung menyerang lawan diskusi secara pribadi.

Akhirnya, ketika kita termasuk dalam pasukan bodrek, kita tidak beda dengan pengemis. Namanya, presenter pengemis, wartawan pengemis, penulis dan jurnalis peminta-minta, secantik dan setampan apa pun kita tampil dilayar kaca, foto profil dan kolom opini, kita tetap menjadi pengemis, sekaligus melacurkan integritas dan martabat demi ‘amplop’.

Ende, awal Desember yang masih kering.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun