Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara adalah nama pena. Tinggal di Kepi, Desa Rapowawo, Kec. Nangapanda, Ende Flores NTT. Mengenyam pendidikan dasar di SDK Kekandere 2 (1995). SMP-SMA di Seminari St. Yoh. Berchmans, Mataloko, Ngada (2001). Pernah menghidu aroma filsafat di STF Driyarkara Jakarta (2005). Lalu meneguk ilmu ekonomi di Universitas Krisnadwipayana-Jakarta (2010), mengecap pendidikan profesi guru pada Universitas Kristen Indonesia (2011). Meraih Magister Akuntansi pada Universitas Widyatama-Bandung (2023). Pernah meraih Juara II Lomba National Blog Competition oleh Kemendikristek RI 2020. Kanal pribadi: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Borong, Waebobo dan Mahalnya Air Bersih

30 September 2015   04:56 Diperbarui: 30 September 2015   07:37 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Aktivitas mencuci di Waebobo, Kel Kotandora, Kec. Borong, Manggarai Timur-Flores (Roman)"][/caption]

BORONG itu ibukota kabupaten Manggarai Timur di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Kabupaten ini dibentuk berkat disahkannya UU No. 36 Tahun 2007, tepat 10 Agustus 2007. Masih seusia bocah kelas dua sekolah dasar. Sangat belia, makanya tidak banyak orang tahu tentangnya. Ada julukan, Borong sebagai kota jembatan walau tidak lebih dari jumlah jari kaki jembatannya. Atau, Kota panas, memang letaknya di garis selatan pulau Flores, menghadap laut Sawu, dengan ombak nan ganas. Katanya, Borong juga ‘digadang-gadang’ sebagai calon kuat “mamakota” bagi janin Propinsi Flores nanti. Di situ ada Tanjung Bendera, nama sebuah hamparan padang maha luas, ke arah Timur Borong, di Waelengga, dekat pantai Mbalata.

Lebih dari itu, Borong itu haus. Benar – benar haus air. Sumber air belum dekat. Tidak heran, di hari minggu, pagi hingga sore, tua hingga muda, laki dan perempuan, berduyun – duyun ke Waebobo untuk memcuci pakaian dan mandi. Datang juga, para sopir mencuci mobil, truk dan pick up. Terlihat beberapa sepeda motor disiram si pemilik. Pokoknya, Waebobo menanti dengan ramah. Kalau pun hingga Waebobo menolak, itu mungkin kita salah jalan masuk dan lewat orang punya kebun.

Persis, di musim menanti hujan seperti sekarang ini, air bersih tidak semurah pisang goreng. Bisnis jual air tangki laris manis. Ada puluhan pick up ber-viber berkeliling kota Borong. Berkisar Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per tangki. Ada sumur tapi sangat dalam 12 sampai 24 meter. Zat kapurnya tinggi.

Itu cerita tentang Borong dengan Waebobonya. Bukan Borong dengan Lehongnya, yang kalau musim hujan tiba, para abdi negara pelayan masyarakat selalu ‘nyeker’. Sebab, jalan menuju pusat perkantoran berlumpur.

Meski demikian, ada Cepi Watu. Pantai yang indah dan mempesona. Ranumnya semburat senja yang tenggelam diiringi adzan magrib seperti surga tersembunyi. Jauh lebih dikenang, ketimbang Waebobo dan mahalnya harga air bersih.

Borong, Ujung September, Pukul 05.46

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun