Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengendus Jejak Kerajaan Todo di Manggarai, Flores

30 April 2015   14:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:31 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_413887" align="aligncenter" width="600" caption="Rumah Adat Todo (Mbaru Niang) di Desa Todo, Kec.Satarmese Barat, Manggarai, Flores (dok. Roman)"][/caption]

MATAHARI sudah berwarna tembaga, saat kami meninggalkan kota Labuan Bajo. Sepeda motor melaju cepat. Tiga setengah jam saja kami sudah masuk wilayah kecamatan Lelak. Jalan menurun dan berkelok ‘dikipas’ saja. Gerimis yang membuat licin jalan tak banyak dipedulikan. Sesegera mungkin biar senja tidak segera beranjak.

Remang memapah ketika kami berhenti sesaat di pertigaan masuk kampung Todo, dijemput oleh seorang kerabat, orang Ende dan menetap di wilayah dekat kampung Todo. Jarak ke rumah masih sekitar 9 kilometer. Meski, agak lelah, kami tergopoh – gopoh beranjak.

Dominasi jalan menurun, kadang menanjak, kami siap menghadap. Klakson berdering, memberi kabar dari arah berlawanan. Jalan sempit hanya selebar dua meter lebih, pas untuk sebuah kendaraan roda empat. Berkelok – kelok, membelah beberapa kali kecil. Airnya bersih dan jernih. Beberapa pria dan wanita dewasa sedang mandi ketika kami melintas. Sedang di setiap pinggir jalan ilalang merambat. Pohon kemiri berdiri kokoh sekitarnya. Jati berderet mengapit lintas. Persis pukul 19.00 WIT, malam, kami tiba di rumah kerabat. Terletak di depan kantor desa Ngkaer, Kec. Satarmese, Kab. Manggarai.

Menghirup udara pagi terasa beda. Hawa khas pegunungan memberi sentuhan rasa tersendiri, lembut, damai dan santosa, hingga bathin harus mengatakan, ‘di sinilah surga’. Sejam kemudian, harus mandi dan mempersiapkan diri mengikuti Misa hari minggu Paskah di gereja Paroki Ratu Para Rasul Todo. Jaraknya lumayan jauh, sekitar 5 km. Letak gereja itu dekat rumah adat Todo, berdekatan pula dengan gedung SDK Todo I. Kampung adat Todo sudah masuk wilayah Desa Todo, Kec. Satarmese Barat, Manggarai.

Selesai Misa, kami mengunjungi kampung adat Todo. Di sana kami berkenalan dengan Bapak Titus Jehadut, seorang penjaga sekaligus petugas Dinas Pariwisata Manggarai. Menurut Titus, kampung adat Todo kini memiliki dua rumah adat, sebenarnya ada sembilan rumah. Karena kurang terawat maka rusak, dan akan dibangun kembali. Kami

Todo adalah pusat semua budaya Manggarai. Awal mula, Manggarai dikuasai oleh tiga kerajaan, yakni kerajaan Bima (dari NTB), kerajaan Goa (dari Sulawesi) dan kerajaan Todo. Lambat laun, Todo menguasai seluruh wilayah Manggarai. Kemudian atas ajakan Belanda, kerajaan ini berpindah ke Ruteng seiring bergantinya sistem pemerintahan ke republik.

Rumah adat Todo, dikenal dengan ‘mbaru niang’ pertama kali didirikan pada tahun 1111. Sedangkan sebelumnya, raja Todo menghuni dalam sebuah rumah ‘minang’ (rumah gadang dari Minangkabau). Titus bercerita, ada tiga warisan penting oleh kerajaan Todo hingga saat ini, yakni: pertama, rumah ‘niang’ merupakan induk dari semua rumah ‘gendhang’ di Manggarai. Kedua, gendang dari kulit perut manusia, biasa disebut ‘gendang loke Nggerang’. Di setiap rumah ‘gendhang’ lain di Manggarai ada juga gendang, tapi terbuat dari kulit binatang. Ketiga, Gong yang dikenal dengan ‘wuka’.

Kintaran rumah adat tersusun dari batu – batu membentuk lingkaran ada dua kubur di tengah. Kubur dengan susunan batu lebih besar dan banyak adalah kubur raja-raja Todo. Ada juga dua buah batang besi berongga di tangga masuk, bekas meriam. Tertulis nama salah satu kota di Inggris, Liverpool. Menurut Titus, meriam ini adalah pemberian kolonial Inggris sebagai hadiah atas jalinan persahabatan yang baik antara raja Todo dan kolonial Inggris.

Cerita tentang kampung adat Todo berlanjut ke ruang tamu pos jaga. Pak Titus juga mencurahkan isi hatinya terkait keluhan mahalnya sewa sarung adat yang dipakai untuk masuk ‘mbaru niang’. Ia membantah, selama ini harga disesuaikan dengan persetujuan wisatawan. “Loh, di candi Borobudur saja, kita mau titip sendal mesti bayar mahal, kenapa kita tidak?” kata Pak Titus sambil membandingkan harga penitipan sendal di Borobudur. Meski ia tahu, ini tidak masuk dalam pungutan Dinas Pariwisata Manggarai. Menurutnya, ini demi pengembangan wisata budaya di kampung adat Todo.

Akhirnya, kami pamit pulang. Perut sudah lapar. Siang teramat panas menyengat. Sebab dewa siang tegak mengintip dari atas langit.

Sore harinya, kami sempatkan melihat – lihat puing – puing susunan benteng peninggalan kerajaan Todo. Sekitar 5 km dari pusat desa Ngkaer, lewat jalan menuju Iteng, ibukota kecamatan Satarmese.

[caption id="attachment_413888" align="aligncenter" width="600" caption="Sebuah bekas meriam "]

1430378678925186891
1430378678925186891
[/caption]

[caption id="attachment_413890" align="aligncenter" width="600" caption="Susunan batu bekas benteng kerajaan Todo (dok.Roman)"]

1430378893739729109
1430378893739729109
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun