(Seteguk Arak Boba bersama Will Siga dan Ebiet Yons)
Tulisan ini dibuat untuk menjawab berbagai keraguan dan kenaifan teman seangkatan di balik Sasa, atas perjuangan saya mendukung sepenuh jiwa pembentukan Propinsi Flores defenitif 2015. Sejenak kembali memaknai pilihan ‘pro’ Propinsi Flores secara lebih utuh. Sembari meneguk satu sampai dua sloki lebih arak Boba yang dibawa teman El No. (biar tahu, Boba itu salah satu desa di Kec. Golewa Selatan, Ngada. Terkenal dengan tempat wisata pemandian air panas, juga dengan arak Boba-nya. Nikmatnya Tuh di Sini! - bikin tidur nyenyak).
“Roman, coba kasih sy argumen yg bs meyakinkan sy klo Flores sdh siap jd Propinsi,” demikian ditulis teman Nong Will (selanjutnya, WDS biar menampakkan tanda – tanda orang besar seperti SBY, ARB) di laman dunia maya. Pertanyaan ini subtansial sekaligus agak ‘porno’. Sebab langsung menusuk ruang ke-Flores-an secara menyeluruh di 10 kabupaten yang akan melahirkan bayi DOB. Tidak hanya kesiapan pembangunan fisik, sarana – prasarana. Bisa jadi, esensi gugatan teman WDS adalah kesiapan SDM yang handal.
Dan agak ‘porno’ (baca: menelanjangi) sebab, kita sama – sama sedang membuka diri. Kita sedang jujur bahwa SDM orang Flores belum siap. Dan ketika kita jujur SDM belum siap, demikian pula mengerdilkan SDM kita sendiri. Kita sedang tidak yakin dengan segenap kemampuan dan potensi serta gelar kita. Generasi muda Flores di mana pun, baik tamatan SD maupun S3 sampai ‘Es Pocong’ punya andil yang besar demi perubahan Flores. Dan membentuk DOB Propinsi Flores adalah salah satu pilihan. Meski pilihan ini memunculkan keraguan, pesimistik dan prasangka negatif segelintir generasi muda Flores sendiri, baiknya sedapat mungkin kita membuang jauh – jauh keraguan itu agar tidak terperangkap sikap ‘thomas –istik’ (melihat dulu baru percaya).
Sesungguhnya, perjuangan membentuk propinsi sendiri bukan soal sudah siap atau belum. Bukan baru sekarang, gagasan pembentukan Propinsi Flores tidak muncul ibarat jamur musim hujan. Propinsi Flores sudah dihembuskan, jauh sebelum terbentuknya Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 1958, hasil pemekaran Sunda Kecil menjadi tiga propinsi yakni Bali, NTB dan NTT. Wacana Propinsi Flores memuncrat saat Partai Katolik memenangkan pemilu pertama Indonesia pada 1955. Dan waktu itu Ende sudah dipilih menjadi ibukota Propinsi Flores. Pada pertengahan Mei 1956 di Nele – Kab Sikka, Partai Katolik kembali mengusulkan pembentukannya, hingga berlanjut di Ende pada Juni 1957. Apa boleh buat, di tengah wacana dan gagasan brilian itu, ada saja pihak yang mengambil jalan cepat nan lincah. Polemik tidak turut mendapat solusi. Terbentuklah NTT pada 1958. Jadi, Flores sudah siap sejak 1955.
Sekarang, tinggal menunggu jawaban orang Flores sendiri. Mau atau tidak? Jika tidak, kita akan tetap berkutat dalam NTT (Nanti Tuhan Tolong). Dan jika mau, kita sedang berada dalam satu tahap awal perubahan. Naomi Susan dalam ‘Be Negative = Menjadi Negatif’ menulis, Anda memiliki kebebasan untuk memilih. Tetapi, mengapa Anda memilih untuk tetap berada dalam keadaan yang sama setiap harinya dan tidak bergerak lebih maju selangkah demi selangkah?.
Kiranya, kata – kata Susan tadi adalah ‘tegukan terakhir arak Boba’ biar kita semakin bersemangat menata perubahan Flores ke depan, tentu menjadi DOB adalah salah satu alternatif ketika jalur utama ‘putus’ bahkan ‘longsor’. Sebab, Propinsi Flores, Nikmatnya Tuh di Sini! – ketika kita sanggup mengatakan YA akan perubahan. ‘Ngarai, jurang, longsor batu, dan banjir’ di depan mata adalah pesimistik yang berlebihan.
Wolongizu, 22 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H