[caption id="attachment_323917" align="aligncenter" width="560" caption="Jalan Rabat yang sudah berlubang (Foto Roman Rendusara)"][/caption] SORE itu hujan belum juga redah. Jalan menuju kampung sudah rabat, tapi di musim hujan begini seperti sungai. Tanpa drainase, menampung air dari kampung atas. Mengalir deras sepanjang setapak itu, dengan membawa kotoran anjing yang sering buang hajat sembarang tempat. Jadilah jalan ini fungsinya ganda, sebagai jalan raya dan juga sebagai sungai ketika hujan turun.
Kenapa begitu? Yah soal drainase tidak ada itu masalahnya. Pas bangun jalan ini kebetulan saja dana habis. Dana hanya untuk buat setapak rabat. Titik. Tidak ada untuk drainase. Drainase menunggu dana khusus dari pemerintah.
Wah..wah..berulangkali pemerintah adalah biangkerok. Jalan rusak, pemerintah penyebabnya. Listik mati pemerintah yang buat. Longsor bupati yang dicaci – maki. Banjir, DPR yang sasaran amarah. Dan kini, tidak ada drainase, pemerintah dihujat. Semua seperti sepakat dengan dana khusus untuk drainase. Dana buat gali got. Tak peduli got itu juga berhimpitan dengan halaman rumah. Gali saluran air depan halaman rumah biar tidak banjir saja tunggu alokasi dana khusus dari bos – bos di kabupaten. Itu sama dengan mau pegang pacul mesti ada uang. Mau pegang lingis saja rupiah lebih dulu.
Saya tidak tahu persis ini mental apa. Ini model masyarakat apa. Hanya saya sadar bahwa digelontornya uang dari pemerintah dalam berbagai proyek justru menjadi sumber perubahan mental masyarakat seperti di atas. Masyarakat menjadi tidak mandiri. Mental mau enak. Instan. Hilang keswadayaan.
Di desa saya ada dana Anggur Merah, PPIP, PNPM Mandiri. Tentu ini baik untuk memperlancar pembangunan di desa. Belum lagi berlakunya UU tentang desa membawa angin segar bagi otonomi desa. Setiap desa akan mendapatkan dana sekitar 1 M – 2 M per tahun. Sungguh angka yang fantastis. Tiap desa akan membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya masing – masing. Kepala desa meneguk air ludah sendiri.
Bersamaan dengan itu, masalah besar mengancam, pikirku. Ketergantungan menjadi sangat kuat. Kemandirian masyarakat lemah. Pembangunan fisik berjalan cepat secepat uang mengalir, tapi menyisahkan mental manusia – manusia instan ketika kucuran dana habis atau berhenti. Lihat saja di kampung ini, kerja drainase saja tunggu dana dari pemerintah. Sebagian jalan aspal, sekarang sudah ditutup lumpur. Gorong – gorong macet. Tersumbat sampah. Setiap orang yang lewat hanya diam. Entah apa kata dalam hati. Penghuni rumah sisi jalan itu pun acuh. Tunggu ada dana baru kerja.
Bantuan pemerintah atau proyek apa pun yang masuk desa ibarat memakan buah simalakama. Pemerintah ikut dilema. Sebaiknya tidak ada dana yang mengalir ke desa itu juga tidak mungkin. Protes akan datang. Demo akan tiba. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Pemerintah menina-bobokan rakyatnya. Makan pun dikasih raskin gratis sehingga sudah jarang petani ladang menanam padi. Semua serba gratis. Sakit gratis. Sekolah gratis. Pupuk gratis. Nikah massal gratis. Melahirkan gratis. Lalu, lupa mengalihkan yang gratis menjadi stimulan, semacam hadiah atas prestasi. Sebagai cambuk pembangunan. Ada ‘give and granted’. Sebab jangan tanya apa yang negara berikan, tapi tanyakan apa yang diberikan untuk negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H