Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sabun Buat Denda Adat

29 November 2014   16:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:31 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14172297971562729598

[caption id="attachment_379048" align="aligncenter" width="350" caption="Gambar Ilustrasi (www.metroniaga.co.id)"][/caption]

ZAMAN saya masih kecil, tahun - tahun tidak enak, kalau mandi di kali Ae Gore atau Ae Jara, (sungai kecil tempat ambil air minum dan mandi di Rajawawo, Ende, Flores), sudah biasa tidak pakai sabun. Bahkan saya pernah menyaksikan ayah mencuci pakaian dengan pepaya. Hanya sedikit busa. Lumayan untuk membersihkan kotoran yang melekat.

Memang zaman tidak enak benar, kalaupun yang ka'e - ka'e bawa sabun, bocah - bocah seperti saya dan teman - teman sebaya, mandi kosong. Tidak pakai sabun. Malah mereka suruh, kami gosok pakai batu sa. Sedangkan mereka harum semerbak diterpa wangi sabun Giv, kala itu sabun Giv memang oke.

Nah senioritas yang terlukis ketika itu justru tidak membuat saya dendam kasumat. Saya sampai sekarang sudah terbiasa dengan mandi tanpa sabun. Cukup siram air di badan, ambil batu dan "rudha" (bah Ende = gosok). Daki - daki seperti lumpur lebih mudah terangkat, lalu dibilas lagi dengan air. Tidak ada handuk, baju kaus pun jadi. Biar titik - titik air cepat kering. Ini pengalaman saya di sebuah jalan pulang, menelusur Kelitei (Ngada, Flores) membelah Waelengga (Kab Manggarai Timur, Flores).

Seorang teman asli Waemi (sebuah kampung pesisir Selatan Ngada, Kec.Inerie) mendekat sambil terheran - heran melihat saya mandi tidak pakai sabun. Sambil terkekeh - kekeh dia bergurau, "Benar teman, kami di sini sabun su berubah fungsi, peran, tugas dan wewenang. Sabun tidak lagi buat mandi. Di sini sabun untuk 'waja' (denda/sanksi adat)".

"Ah, maksud teman?", saya penasaran.
"Iya, seperti kalau "serempet" istri orang, biar tidak menikah. Bisa kasih 'waja', untuk bayar denda adat pakai sabun."

Hmmm..saya bergegas meninggalkan lokasi pemandian yang hampir kering itu. Lalu pergi menuju Waelengga. Di sana, istri teman sudah menunggu dengan ikan bakar nan lezat.

(yang tercecer di kali kecil hampir kering sambil memaknai praktik senioritas di Ae Gore - Kekandere)

Catatan:

ka'e = kakak (Ende)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun