Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ikan Kering, Pesan Toleransi dari Flores

20 Desember 2014   17:14 Diperbarui: 7 November 2015   15:45 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PAGI tadi, saya mendapat telpon dari bibi Nur, di Numba, supaya sebentar mau ke kampung singgah di rumah dulu, ambil ikan buat orangtua di kampung untuk Natal. Saya menyanggupinya. Dan usahakan sebentar singgah.

Numba itu sebuah kampung di pesisir Selatan, 20 km arah Ende – Nangapanda, Kec. Nangapanda, Ende, Flores, NTT. Mayoritas penduduknya Muslim dan sebagian besar nelayan. Demikian bibiku, Nur, juga seorang Muslim yang saleh. Kami masih ada ikatan keluarga. Ia ramah kepada keluarga kami. Meski kami berbeda agama. Itulah pengalaman kekeluargaan kami yang sudah dibangun sejak dulu. Mama saya dan bibi Nur, kakak dan adik sepupu. Mama saya lebih tua. Acara natal begini andai dia tidak sempat hadir, ia pasti kirim ikan kering.

Begitu pula saat Lebaran, biasanya Mama saya yang turun ke pantai, ke rumah bibi Nur. Bawa pisang masak dan beras merah hasil kebun ladang. Dan sebentar kalau pulang pasti bawa ikan kering lagi. Maklum kami di kampung, agak ke pegunungan, ikan jarang ada yang jual, kalau pun jual sudah mahal. Bibi Nur kasih ikan kering. Lumayan buat makan keluarga kami, ditemani ubi kayu singkong.

Tiga minggu kemarin, saya turun ke pantai, ke rumah bibi Nur. Bibi Nur yang suaminya meninggal sejak saya kecil, anaknya satu orang, sedang bangun rumah.  Mama dan saya turun gunung, ke rumah bibi Nur di Numba. Mama bawa pisang dan beras merah. Dan pulangnya, kami dikasih ikan kering.

Begitulah pesan toleransi dari kampung kami. Hanya dengan ikan kering, tali silahturahmi mengikat lekat. Hanya dengan pisang dan beras merah dari ladang Mama, jalinan keluarga tak putus digunting sekat – sekat agama. Tanpa atau dengan mengucapkan “Selamat Idul Fitri” dan “Selamat Natal” pun tindakan nyata sudah termeterainya dalam ikan kering, beras merah dan pisang.

Selamat Natal, semoga kita tidak meributkan lagi soal Natal. Damai buat kita semua.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun