PAGI tadi, saya mendapat telpon dari bibi Nur, di Numba, supaya sebentar mau ke kampung singgah di rumah dulu, ambil ikan buat orangtua di kampung untuk Natal. Saya menyanggupinya. Dan usahakan sebentar singgah.
Numba itu sebuah kampung di pesisir Selatan, 20 km arah Ende – Nangapanda, Kec. Nangapanda, Ende, Flores, NTT. Mayoritas penduduknya Muslim dan sebagian besar nelayan. Demikian bibiku, Nur, juga seorang Muslim yang saleh. Kami masih ada ikatan keluarga. Ia ramah kepada keluarga kami. Meski kami berbeda agama. Itulah pengalaman kekeluargaan kami yang sudah dibangun sejak dulu. Mama saya dan bibi Nur, kakak dan adik sepupu. Mama saya lebih tua. Acara natal begini andai dia tidak sempat hadir, ia pasti kirim ikan kering.
Begitu pula saat Lebaran, biasanya Mama saya yang turun ke pantai, ke rumah bibi Nur. Bawa pisang masak dan beras merah hasil kebun ladang. Dan sebentar kalau pulang pasti bawa ikan kering lagi. Maklum kami di kampung, agak ke pegunungan, ikan jarang ada yang jual, kalau pun jual sudah mahal. Bibi Nur kasih ikan kering. Lumayan buat makan keluarga kami, ditemani ubi kayu singkong.
Tiga minggu kemarin, saya turun ke pantai, ke rumah bibi Nur. Bibi Nur yang suaminya meninggal sejak saya kecil, anaknya satu orang, sedang bangun rumah. Mama dan saya turun gunung, ke rumah bibi Nur di Numba. Mama bawa pisang dan beras merah. Dan pulangnya, kami dikasih ikan kering.
Begitulah pesan toleransi dari kampung kami. Hanya dengan ikan kering, tali silahturahmi mengikat lekat. Hanya dengan pisang dan beras merah dari ladang Mama, jalinan keluarga tak putus digunting sekat – sekat agama. Tanpa atau dengan mengucapkan “Selamat Idul Fitri” dan “Selamat Natal” pun tindakan nyata sudah termeterainya dalam ikan kering, beras merah dan pisang.
Selamat Natal, semoga kita tidak meributkan lagi soal Natal. Damai buat kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H