Setelah menyelesaikan kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Perguruan Tinggi Swasta ternama di Yogjakarta tahun 1988, Tarno  memilih pulang kampung. Meskipun Tarno berpeluang mengajar di sekolah-sekolah swasta favorit di kota besar dan bergaji tinggi, ia lebih memilih hidup sederhana di lereng Gunung Celering yang hijau. Membagi harapan kepada anak-anak desa dan  orang-orang yang pernah didera kusta di pusat Rehabilitasi Kusta, Sekar Wangi. Tarno bergerak mengikuti hati nurani.
Pilihan hidup Tarno digerakkan oleh suara batinnya yang peka pada nilai-nilai kemanusiaan. Membagi cinta pada  anak-anak desa yang orang tua mereka terbelenggu kemiskinan, menjadikan anak-anak desa tertinggal dalam membaca, menulis, dan menghitug. Tarno merasa beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi. Ia akan menuaikan hutangnya dengan mengajar anak-anak. Faktor lain yang menggerakkan budi Tarno adalah orang-orang yang  telah sembuh dari kusta di pusat Rehabilitasi Sekar Wangi, warisan Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1916.
"Jika saya selesai kuliah, saya akan tetap di kampung Mak," izin Tarno kepada Ibunya di sore hari, menjelang maghrib tiba. "Iya Le, sekolah dhuwur tidak harus langsung pergi ke kota guna mencari uang sebanyak-banyaknya. "Jawab  Ibunya mendukung harapan Tarno. "Bocah-bocah di desa ini juga perlu diajari membaca, menulis dan menghitung." "Juga  para tetangga kita yang tinggal di Pusat Rehabilitasi Kusta Sekar Wangi perlu mendapat perhatian supaya mereka tidak  merasa sendirian." Dukungan ibunya membuat Tarno merasa lebih  kuat niatnya. Ia ingin secepatnya mengajari anak-anak untuk membaca, menulis, berhitung, dan menyapa orang-orang yang pernah menderita kusta.
Seiring detak waktu, Tarno mengawali niat baiknya. Minta restu pada Pak Darmin, Kepala Desanya. Datang ke keluarga-keluarga yang mempunyai anak usia SD, tetapi tidak bersekolah. Dalam hitungan minggu, Tarno bisa mengundang anak-anak untuk belajar membaca, menulis, dan  berhitung. Tarno juga mengajarkan pembiasaan sopan santun kepada anak-anak.  Anak-anak merasa senang. Sedikit demi sedikit, anak-anak mulai mengenal membaca, mengenal huruf-huruf dan  menghitung. Orang tua anak-anak asuhnya merasa senang, bangga, dan menaruh hormat  pada Tarno. Sejak  saat itulah,  orang tua dan anak-anak menyapa Tarno sebagai Pak Guru Tarno.
Setiap sore, kecuali hari Kamis sore dan Sabtu sore rumah orang tua Tarno riuh suara anak-anak untuk mengeja huruf, mengeja kata, dan membaca kalimat. Riuh suara anak-anak menjadi penanda ada harapan baru bagi anak-anak untuk melek huruf. Termasuk Sayekti 13 tahun yang seharusnya kelas VIII SMP, tetapi berhenti sekolah.  Kabar belajar calistung tanpa membayar yang digerakkan Guru Tarno menyebar ke  desa-desa sekitar. Banyak orang tua yang tertarik dan  mengikutkan anak-anaknya untuk belajar. Rumah orang tua Guru Tarno sudah mirip sekolah sungguhan. Guna meningkatkan kemapuan calistung anak-anak, Guru Tarno memajang buku-buku dan koran bekas di rak yang terbuat dari kayu sengon. Buku-buku dan koran bekas itu ada  yang milik pribadinya dan ada juga kiriman Selvy teman kuliahnya yang sekarang menjadi dosen di Salatiga.
Bersama dengan  Annie Calf,  relawan asal Velp, Belanda, Tarno dalam tiga kali seminggu mengunjungi penghuni Rehabilitasi Sekar Wangi tempat singgah orang-orang  yang pernah terpapar kusta. Mereka berdua memberi pendampingan psikologi, dan sosial. Annie Calf yang insinyur pertanian dan fasih berbahasa Jawa dan Indonesia mengajari mereka untuk bercocok tanam dan beternak. Hasil tanaman dan ternak mereka untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan sisanya dibagikan kepada warga sekitar. "Terima kasih Pak Tarno dan Ibu Annie, mewakili teman-teman penghuni, saya merasa bersyukur atas kedatangan panjenengan untuk memperhatikan kami yang tersingkir. Hidup kami  merasa lebih punya arti,"  ujar Darko penghuni asal Tuban. "Sami-sami Pak, jawab Annie," jawab Annie Calf dengan bahasa Jawa yang medhok.
 Penggerakan Guru Tarno kepada anak-anak desanya telah mengubah hidup anak-anak lebih punya makna. Anak-anak lebih punya martabat. Kemampuan calistungnya meningkat. Meskipun Guru Tarno sendiri tidak memungut imbalan apa-apa. Guru Tarno tidak mengingat lagi berapa jumlah anak-anak yang dientaskan karena saking banyaknya untuk ukuran seorang diri  dalam mengelola gerakan sosial yang ia tekuni. Sementara di Rumah Rehabilitasi Sekar Wangi Guru Tarno dan Annie Calf telah membekali mereka untuk lebih hidup mandiri. Dan, kabar yang Guru Tarno terima dari  perangkat desa, sudah banyak warga penghuni rehabilitasi yang telah meninggal karena usia.
Guru Tarno tidak merasa, kalau perjuangannya sudah hampir 33 tahun. Kini usianya yang semakin senja kerap kali asam urat dan encok mengganggunya. Sementara Annie Calf sudah kembali ke Velp, Belanda setelah masa kontraknya  sebagai relawan telah usai.
Bayang-bayang indah sering muncul ketika Guru Tarn membuka lembar-lembar memori bersama Annie Calf untuk memberi perhatian mereka  yang lemah, yakni para penghuni Rehabilitasi Sekar Wangi. Memori hanya ada dalam pikiran Guru Tarno. Sementara Annie Calf kini berpijak di negerinya leluhurnya. Dan, mungkin tidak akan kembali di lereng Gunung Celering karena usia senjanya. Sosok Annie Calf yang pernah mengisi ruang kosong jiwanya menjadi bahan renungan  hidup Guru Tarno bahwa cinta itu pada akhirnya mesti terpisah karena ruang dan waktu yang terbatas.
2 November 2021