Mohon tunggu...
Romadhoni Akhmad Bakhtiar
Romadhoni Akhmad Bakhtiar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Seorang fakir ilmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Khilafah Tak Semenakutkan Kata Elite Politik

22 Oktober 2021   22:50 Diperbarui: 22 Oktober 2021   23:05 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Kata “khilafah” seperti menjadi kata tabu di negeri yang disebut sebagai pemeluk Islam terbanyak di dunia. Iya, tidak lain dan tidak bukan adalah Indonesia. Beberapa waktu belakangan ini “khilafah” menjadi isu yang banyak diperbincangkan, terutama di masa pemilihan presiden. Isu ini digunakan untuk menyerang kubu yang didukung oleh orang-orang yang vokal dengan syariat. Padahal belum tentu juga orang-orang yang vokal tersebut mendapatkan jabatan di pemerintahan.

            Jika ditinjau dari segi sejarah memang khilafah berkaitan dengan Islam, sebab khilafah bermula pada suksesi dari Nabi Muhammad SAW yang wafat sehingga meninggalkan kekosongan pada kepemimpinan Islam dan negara. Abu Bakar Ash-Shidiq pun didapuk menjadi khalifah pertama dan kekhilafahan berlanjut sampai khilafah Utsmaniyah. Dalam rentang waktu yang lama tersebut meski disebut khilafah terdapat perbedaan dalam sistem politik dan aturan yang berlaku.

            Hal semacam sistem politik dalam kekhilafahan sebenarnya bersifat fleksibel dan tidak ada aturan baku yang bersifat mengikat. Melihat kembali sistem pemilihan khalifah-khalifah yang disebut khulafaur rasyidin pun berbeda-beda. Tak hanya sistem politik yang fleksibel, namun aturan-aturan negara pun menyesuaikan kondisi dan keadaan pada periode pemerintahan khalifah. Asal di dalam pembuatan aturan-aturannya tidak bertentangan dengan syariat. Dengan demikian sistem politik seperti yang dianut oleh Indonesia pun bisa disebut menerapkan kekhilafahan asal aturan-aturannya mengambil atau tidak bertentangan dengan syariat.

            Para elite politik negeri ini dan para simpatisannya seolah enggan mengakui bahwa khilafah pernah ada dan merupakan sejarah panjang sebuah bentuk pemerintahan Islam. Narasi-narasi yang dikemukakan ke publik mengenai khilafah adalah narasi-narasi yang membuat masyarakat takut dan seperti membuat propaganda anti-khilafah. Narasi yang biasa dikemukakan seperti “Jangan Suriah-kan Indonesia”, “Jangan jadikan Indonesia seperti negeri-negeri Arab”, atau “Jangan biarkan bibit teroris muncul di Indonesia”. Hal ini malah menimbulkan gejolak ditengah masyarakat yang mana mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim.

            Propaganda-propaganda anti-khilafah seharusnya bisa dihentikan, sebab untuk menjadi negeri khilafah tidak perlu mengubah sistem politik yang sudah di sepakati oleh para pendiri bangsa terdahulu. Para elite politik dan simpatisannya mungkin sadar bahwa dalam pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pun mengandung intisari dari ajaran-ajaran Islam. Mengingat kembali bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim dan kerajaan-kerajaan terakhir kebanyakan kerajaan Islam. Maka wajar apabila nafas Islam mengalir di dalam sistem politik dan perundang-undangan Indonesia.

Melalui konsensus dalam merumuskan berdirinya negara Indonesia para pendiri bangsa memerhatikan kondisi sosial, adat, masyarakat, dan budaya yang ada di wilayahnya. Maka tercetuslah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mana sesuai dengan jati diri pribadi bangsa Indonesia yang beraneka ragam. Sebenarnya bisa saja para pendiri bangsa egois dan membuat negara Islam karena mayoritas penduduknya muslim. Namun hal tersebut tidak terjadi dan lebih mementingkan persatuan negara Indonesia agar tercipta suasana yang kondusif. Maka suatu hal yang aneh apabila ada elite politik menyuarakan anti-khilafah padahal di dalam sistem politik negeri ini sudah mengandung unsur-unsur kekhilafahan.

            Negeri Indonesia sudah damai dengan sistem politik yang dianut. Orang-orang yang menjabat di pemerintahan tinggal menjalankan amanah yang diberikan oleh rakyat dengan baik. Penerapan good and clean goverment yang ketat oleh pejabat negara akan berdampak kepada iklim politik yang kondusif, sehingga isu-isu yang berkembang di masyarakat bisa diredakan. Apabila memang benar ada segelintir orang yang ingin mendirikan negara khilafah, mungkin saja mereka mempunyai rasa kecewa dan ketidakpuasan dengan berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Orang-orang yang mempunyai pemikiran seperti itu harusnya dirangkul untuk mengetahui apa yang melatar belakangi pemikiran tersebut. Dengan demikian pemerintah dapat melakukan tindakan preventif untuk menghalau pemikiran-pemikiran serupa di masa mendatang.

             Khilafah sebagai sistem politik tidaklah harus ditakuti, karena sistem politik tersebut sama saja seperti komunis maupun liberal. Khilafah pun mengambil kebijakannya berpedoman kepada syariat yang diambil dari dalil-dalil dalam al-Quran maupun hadits-hadits. Sumber yang dijadikan rujukan dalam pengambilan kebijakan tentunya tidak akan mendzalimi makhluk hidup dan alam. Apabila dalam sejarah kekhalifahan ada suatu pemerintahan yang dzalim maka itu dari orang-orang yang menjabat tidak menerapkan kebijakan sesuai dengan syariat dan hanya mementingkan nafsu kekuasaan belaka.

            Tidaklah salah bagi orang-orang yang menolak dengan kekhilafahan sebab sebagai individu yang bebas dan dapat menentukan pilihannya hal itu adalah sunnatullah. Namun jangan pula menyembunyikan sejarah dan merendahkan kekhilafahan dengan narasi-narasi yang menakuti masyarakat serta membuat fitnah kepada orang-orang yang menyuarakan kekhilafahan. Suka atau tidak suka, khilafah telah menjadi sistem pemerintahan yang berlangsung begitu lama dan peradaban pernah mencapai puncaknya pada masa kekhilafahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang kita dapat saksikan dan rasakan sekarang ini merupakan hasil dari pemikiran tokoh-tokoh muslim pada masa lampau. Maka dari itu kita sebagai masyarakat sepatutnya tidak menjadi paranoid dan anti dengan khilafah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun