Seperti menggaungkan kembali pertanyaan mendasar, mengapa kita harus bersusah-susah mengikat diri dalam sebuah entitas bernama Indonesia? Dan untuk kegunaan apa, what is the real purpose, kita merajut diri bersama komponen ke-Indonesiaan yang lain, untuk sama - sama menapaki jalan ke yang akan datang?.
Kita bersyukur karena kita cukup beruntung, para founding father sudah memahatkan titik terang itu : “Keadilan sosial”, untuk “Memajukan kesejahteraan umum” dan “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Apa janji – janji suci ini masih bisa menjadi semen perekat? - menjadi panggilan kita.
Pembangunan yang diamanatkan oleh pendiri negara adalah yang berpusat pada manusia, pada pilar – pilarnya di kualitas sosial dan lingkungan juga ekonomi. Bukan melulu tentang penumpukan modal dan pengkonsentrasian kepemilikan tanah oleh orang per orang.
Bagaimana jika, ternyata, pola – pola yang mengeksploitasi masih terjadi , di tanah negeri ini, di masa sekarang ini?
Pada kenyataannya yang dianut sekarang bukan lagi sistem pasar yang bebas, namun sudah menjadi liar. Akibat ikutannya, ekspansi penguasaan tanah oleh segelintir terus berlangsung secara eksponensial. Ikut melibas aset – aset sosial masyarakat dan memporak porandakan ekosistem lingkungan. Secara brutal.
Laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015, menyebutkan bahwa sekelompok kecil orang - 0,2% dari populasi - ternyata menguasai 74% tanah di Indonesia. Dibandingkan negara- negara lain di dunia, struktur kepemilikan tanah demikian termasuk timpang yang ekstrem. Dan bisa jadi ini lebih parah ketimbang jaman kolonial Belanda dulu. Sebagai perbandingan, Afrika Selatan pada kondisi terburuknya, 5% penduduk kulit putih menguasai 50% tanah.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Hafid Abbas memaparkan bahwa ada satu orang pemilik grup perusahaan menguasai tanah Indonesia sampai seluas 5 juta hektar. Ini berarti 8,5 kali lebih luas dari Pulau Bali.
Bisa di cermati di link berita berikut
Negara seperti tak berpihak pada mereka yang miskin dan nir-akses. Proses peminggiran ini terjadi secara struktural. Rumah tangga yang tak punya akses – ruang-fisik, sosial, finansial dan kelembagaan - makin terisolasi. Perangkat hukum semata jadi alat pelanggengan mereka yang turah-kuasa.
Janji suci para founding father telah dilupakan.
Akses masyarakat miskin terhadap tanah amatlah penting bagi mereka untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan, dan mulai menapaki anak tangga pertama perbaikan kualitas hidup. Hafid menambahkan idealnya distribusi tanah mengikuti formula 1 juta untuk orang kaya, 2 juta untuk kelas menengah, dan 3 juta untuk masyarakat miskin. Best practice di Swedia misalnya, bisa dijadikan. Pada tahun 1979, sekitar 70 persen tanah di Swedia telah menjadi milik publik, melalui mekanisme Bank Tanah yang sudah dimulai sejak tahun 1904.