Masalah terbesar yang dihadapi kota Jakarta saat ini: pembangunan berjalan pincang dan masih jadi tanda tanya besar bagaimana masa depan kota ini. Pilar utama yang menyangga dinamika kota yang berjangka panjang : Jejaring mosaik sosial, rasa persaudaraan, kearifan lokal, pendekatan yang ngewongke dan partisipasi warga. Kesemuanya itu sekarang menghilang. Tandas.
Kondisi ini bersisian dengan konteks ekonomi-politik global yang makin teregradasi, dimana terbukti “undercount real cost” , seperti porak porandanya lingkungan, ambrolnya kohesi sosial, dan pudarnya rasa saling percaya di tengah masyarakat.
Masalah yang tak kalah besar adalah tak terbendungnya jeratan oligarki : negeri atau kota yang dikendalikan penuh oleh kelompok kecil orang kaya-kuasa. Tak ada ideologi dalam pembangunan kota, yang ada hanyalah pelanggengan praktek kartel dan monopoli yang menelan aset sosial masyarakat.
Negeri yang sama – sama kita cintai ini berada di urutan ke 7, dalam daftar Indeks Kapitalisme Kroni tahun 2016 versi ‘The Economist’, posisinya sebelah sebelahan dengan Meksiko dan Ukraina. Daftar ini menjelaskan seberapa lonjakan kekayaan para miliarder yang mempunyai hubungan rente dengan penguasa. Mengutip CNN Indonesia, indeks ini “menunjukkan apakah dunia sedang mengalami era baru "baron-baron perampok", seperti yang terjadi di zaman emas pada abad 19 di Amerika Serikat.”
Kembali ke konteks kota. Benar adanya. Masyarakat menginginkan bis – bis umum yang apik berstandar eropa, kali- kali yang lebih bersih dan capaian fisik lainnya . Namun kalau itu dilakukan dengan biaya makin kuatnya oligarki. Tambah beratnya ongkos dari tergadainya modal sosial mereka. Tentu masyarakat akan berpikir ulang ratusan kali.
Bahwa sejatinya kota adalah panggung dengan tirainya yang tak pernah tertutup. Dan aktor dan kejadian sosial hanya dianggap figuran . Sebagai residu.
Meminjam argumennya Umair Haque, yang tidak kita inginkan sangat jelas: Kita tak ingin taman sosial yang hidup dinamis , yang bermacam warna , berubah meranggas jadi hutan. Dan yang paling buas- predator bertaring tajam - menjadi satu satunya pemenang. Sementara yang lain, yang miskin dan nir-daya , hanya bisa sembunyi di balik bayangan, sambil terus berharap alam kota jadi tambah gelap. Kala itu kita sama- sama menatap bintang dilangit, dan sekarang kita saling menatap terbakar dendam.
Yang sekarang terjadi, modal sosial masyarakat dianggap tak sejalan dengan tujuan kapitalisme yang berangasan maka sudah semestinya dipinggirkan. Antar elemen masyarakat makin jauh terbelah, jejaring niat baik sosial disingkirkan. Harmoni sosial seperti di ujung tanduk, nyaris berantakan. Yang pecahannya siap ditelan oleh mesin ganas: konglomerat. Keberadaan masyarakat sipil terancam instabilitas sosial yang tak jelas juntrungannya, mekanisme resolusi konflik yang tak pernah terpikirkan turut perparah situasi.
Tujuan law and order pun semakin menjauh. Merajalelanya oligarki juga memaksa kita kembali ke sistem kasta yang eksklusif dan kaku. Di sisi mikro tata ruang misalnya , keberadaan masyarakat berpagar (gated community) seperti yang menjamur di kluster – kluster real estate semakin perburuk situasi.
Jadi bagaimana menyelesaikan persoalan besar ini? Mestikah kita berpangku tangan dan nyatakan menyerah? Tak akan.
Definisi dari kegilaan sejati adalah terus melakukan hal yang sama berulang kali, dan berharap hasil berbeda.