Mohon tunggu...
Romadhon
Romadhon Mohon Tunggu... Sales - Memanusiakan manusia

Kesopanan lebih tinggi dari pada kecerdasan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Plus Minus Adanya Judical Restraint

29 Juni 2024   23:56 Diperbarui: 29 Juni 2024   23:56 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Romadhon

1322300011

MIH Unevirsitas 17 Agustus 1945


Pemahaman tentang judical restraint

Judical restraint kerap kali kita kenal dengan sebutan  judical self-restraint tapi yang membedakan diantara keduanya adalah penekanan atas pembatasan yang berasala dari internal ) hal ini tidak terlepas dari negara amerika serikat.

Arti dari judical restrain
 Judical restraint adalah suatu upaya untuk titdak memutuskan suatu perkara karna ada keterlibatan dan dapat mengganggu dengan kekuasaan yang lain.Penerapan judical restraint didasarkan dengan penalaran yudisial (judical reasoning) yang terdiri dari 2 pertimbangan yaitu substans dan kewengan institusional Alasan institusional setidaknya dapat dilihat dari indikator: (1) keahlian yudisial; (2) pembentukan peraturan yang inkremental; (3) legitimasi kelembagaan; dan (4) reputasi yudisial.

Alasan adanya Judical Restraint Oleh Mahkamah Konstitusi
Jika dilihat dari indikator diatas maka dapat diuraikan justifikasi judicial restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia sebagai berikut:
Alasan Substantif, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi relatif memiliki alasan substantif yang kuat karena kewenangan dalam judicial review langsung diatribusikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Mahkamah Agung melaksanakan kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang sebagaimana ketentuan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mana ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan tersebut diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1985 jo. UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Adapun Mahkamah Konstitusi melaksanakan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar sebagaimana ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mana ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan tersebut diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
Alasan Institusional, keahlian yudisial. Dalam rangka menilai keahlian yudisial antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sejatinya cukup sulit untuk dilakukan. Terlebih Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, yang mana hal ini perwujudan dari asas ius curia novit.
Alasan Institusional, legitimasi kelembagaan. Wujud dari legitimasi kelembagaan  dalam pelaksanaan kewenangan yudisial adalah terkait keterbukaan dan akseptabilitas putusan.
Alasan Institusional, reputasi yudisial. yang patut diperhatikan dalam menilai alasan kelembagaan ini, yaitu: Pertama, hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan. Hal ini berbeda dengan pengujian peraturan pada Mahkamah Konstitusi yang mengadakan sidang dengan menghadirkan para pihak. Kedua, keberlakuan putusan. Keberlakuan putusan yang dimaksud adalah kapankah putusan pengujian peraturan berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat.

Catatan adanay Judical Restraint
Catatan Pertama, keterbukaan proses beracara. Catatan Kedua, keterbukaan putusan sebagai informasi publik. Catatan Ketiga, akseptabilitas putusan. Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2013 yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi, diindikasikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkadang diragukan efektivitasnya karena ada kecenderungan tidak dipatuhi dan diabaikan oleh addressat putusan. karena dalam putusan mahkama konstitusi selalu menghadirkan tergugat berbeda dengan MA

Kesimpulan
Jika dilihat dari beberapa alasan diatas kita bisa menyimpulkan Pertama, putusan pengujian UU yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi juga harus didasari pada konsep judicial restraint, Sehinga mahkamah konstitusi sendiri menghindari untuk menyinggung cabang kekuasaaan negara lain, dan juga menghindari untuk menyinggung sesama pelaksana kekuasaan kehakiman yan lainnya. Kedua, kesadaran Mahkamah Konstitusi untuk turut serta menerapkan judicial restraint disinyalir akan menciptakan penghormatan yudisial (judicial deference) terhadap putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini menjadi upaya yang patut dicoba mengingat sudah terdapat penelitian menunjukkan konsistensi putusan Mahkamah Konstitusi tidak serta diikuti dan dilaksanakan oleh pihak yang terdampak oleh putusan Mahkamah Konstitusi.
Jadi semua yang dilakukan oleh MK memang sesuai aturan yang berlaku di UUD 1945 yang mana mereka hanya meriview terkait undang-undang dasar bukan di bawahnya ,untuk dibawahnya hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung, sepatutnya MK melaksanakan sesuai aturan agar ada perbedaan antara MK dan MA, jika MK juga berfokuskan akan keputusan yang memang tidak seharusnya diputuskan oleh MK maka akan selalu ada perdebatan karna takutnya ada ketidak samaan hasil dr MA dan MK

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun