SYAIR SUNYI YANG BELUM TERSELESAIKAN
Kesunyian mengusik selembar kertas yang kehilangan angan pada pagelaran tuannya diatas meja berdebu nan usang, selembar kertas malang yang terabaikan. Ia merindui diksi dalam bait puisi dimana hati merapal rasa, lalu giliran tulisan berbicara mengeja aksara pada setiap lekukan garis tulis bersama pena bulu dari tangan tuannya yang seorang maestro bertopi pet dengan kacamata tua senada dengan usianya, sayang dia pergi tanpa sekelumit kata pamit.
Debu-debu bertanya kepada puisi rumpang itu, Â kemana tuanmu yang suka menangis dan tertawa sendiri sampai membangunkan seluruh benda di kamar ini. Jawabannya hanya satu "menunggu" lalu membunuh lelah waktu rindu yang selalu menghadirkan sendu. Kertas itu berharap kesabarannya akan menuai keajaiban. Kertas yang sudah tak kuasa menahan usangnya membiarkan bait-bait dari puisi itu berteriak gaduh meminta pada seisi ruang untuk menyelesaikan potongan baris terakhirnya. Namun sampai detik ini tidak ada satupun yang mendengarkan hanya sunyi yang menjawab dengan nada diam; bungkam.
Serbuk memori makin menjadi-jadi menikam sang kertas dengan kenangannya. Lantas susunan bait-bait itu berkata " kenangan hanya akan menumbuhkan kerinduan tanpa adanya suatu pertemuan". Pada senja yang tenggelam, kertas yang telah rapuh dan sepuh itu kehilangan semangat diri, dia telah kalah dalam menahan lelah. Selamat jalan, biarkan baris puisi yang belum terselesaikan menjadi pemilik bagi siapapun yang ingin mengisinya dengan senandung kata penuh makna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI