Cuaca semakin menguning cerah, terik matahari mulai terasa menyengat pada punggung-punggung para petani. Terbentang luas karpet alam dengan hijau yang pandai berbaris rapi merayu sepasang mata untuk tetap menikmati betapa berisinya bulir-bulir padi yang baru lahir. Â
Di bawah pohon kapuk dengan buahnya yang sudah mulai ranum dan mengering sebagian sudah  memutih siap disortir  menjadi bantal kapuk yang nyaman, terlihat ada seorang wanita tua yang tampak sedang menikmati makan siangnya bersama hidangan daun pisang sekedar ketela rebus hasil dari kebun sendiri disamping gubuk seumuran usianya di tepi kampung hanya bertemankan sepi.
Sesekali wanita tua itu menyekat tetesan peluh didahinya terlihat sepasang mata tua yang dihiasi guratan keriput khas, memoar memandang indah langit Sang Kuasa lalu pandangannya perlahan jatuh pada kilasan untaian kenangan.
"Bu, jika aku sudah besar tidak akan pernah ku biarkan tangan ibu bermain dengan lumpur dan tajamnya belukar" ujar seorang bocah cilik sambil memainkan ruas-ruas ilalang sambil duduk di pinggiran pematang sawah menjaga bungkusan daun pisang berisi nasi bekal makan siang.
"Jadilah seperti padi anakku, semakin berisi semakin merunduk, jadilah sehijau daun yang kedatanganya tidak lain sebaga penenang, dan jadilah pelangi dimata ibu sebab tetesan air mata yang jatuh tiada lain sebentuk doa-doa terbaik untukmu buah hatiku, dan engkau selamanya akan menjadi embun kecil didalam biduk cinta ibunda" ujar sang ibu yang tengah menanam padi  sambil sesekali tersenyum ketika pandangannya menangkap kelucuan tingkah laku dari anak lelakinya itu.
Ada sebuah kerinduan yang begitu mendesak relung jiwa membiarkan bening kaca satu per satu berjatuhan dari sudut mata senja yang terlampau merindu namun sendu.
"Bu tinggallah bersamaku ya di yayasan, ibu sudah seperti ibuku sendiri sudah waktunya ibu melepas beban dunia dimasa tua dengan bahagia" ujar bidan muda itu.
"Aku sedang menunggu kepulangan anakku nduk, sabarlah mungkin besok ia akan kembali dari perantauan"
ujar sang ibu yang tengah meraba-raba mencari korek api untuk menghidupkan lampu minyak ketika malam mulai bertandang sebagai penerang dangaunya.
"Mungkin ibu masih menyimpan rapat kenangan hingga ibu merasa,,," belum sempat kalimat tersebut terselesaikan, ucapan bidan itu langsung di sahut oleh sang ibu.
"baru kemarin ibu mendengar tangis pertamanya, baru kemarin rasanya ibu menyapihnya dan baru kemarin dia menghapus derai air mataku lalu memberi seberkas senyuman, baru kemarin dia pamit kepada ibu ke kota, namun derasnya hujan kemarin malam membuat ibu susah mengira"