(Gbr. Walian dan Tonaas)
Peserta No. 95
rollytoreh
Ganasnya mimpi itu tak membuat aku cepat terjaga. Padahal setiap mimpi buruk setiap kali singgah dan melarut di setiap istirahatku, sedikit saja dinikmati setelah itu harus cepat terbangun. Wajarlah setiap orang yang kelelahan harus diganti dengan situasi lelap dan syahdu dengan cara bisa tidur selelapnya ditempat manapun, yang penting kepala dan tubuh bisa tengkurap atau tengadah, itu sudah cukup memuaskan.
Apakah mimpi itu akibat kecamuk pada siang kemarin dimana di barisan depan sebuah pendopo, ada hal yang paling ruwet menancap di kedua mata. Masyarakat menjejali satu pendopo besar dan bertanya kesana-kemari, berbicara tak karuan, tentang sosok anak kecil seolah terlantar menyendiri di pendopo. Aku bingung kenapa semua tidak pada berani mendekat apalagi bertanya kepada anak kecil itu. Luasnya jarak mereka semakin mempersulit keinginan menonton adegan galau nan mengharukan. Lantas kudekati walau sempit diapit jejal mereka. Semakin berdesak semakin sulit aku keluar dari jejalan mereka. Terpaksa aku mundur. Andai saja itu seorang Presiden sudah pasti tak ada jarak bertemu dengannya. Jabat tangan, tepuk tangan, biasanya menyambut seorang presiden. Rakyat pasti tak semakin peduli dengan kerasnya tangan para pengawal presiden yang membentuk deret panjang mensterilisasi gerak gerik seorang presiden. Menyapanya atau memeluknya adalah harga mati. Rakyat tak puas dengan segenggam tangan atau senyum lumrah yang berkibas didepan wajah mereka, haruslah dengan sapa dan peluk sudah sangat istimewa sekali. Namun sulitnya sudah pasti tak beda dengan kesulitan mencapai surga. Bahkan kengerian bisa timbul ketika ada yang spontan menghujat atau mencaci Presiden, ujung-ujungnya kena bogem atau ditangkap oleh pengawal presiden dengan tuduhan penghinaan alias makar berlanjut. Dengan memelas wajah aku sadar itu tidak mungkin terjadi. Tidak bisa diandaikan presiden datang kemari berwujud hiperbola dengan sosok anak kecil seusia anak SD kelas 5 itu.
Banyak keringat kuseka tapi kerumunan tak kunjung pecah kendati panas matahari membakar kulit mereka semua. Sudah berjam-jam tak satupun yang berani mendekat. Ada yang coba memberanikan diri tampil kedepan mendekat lebih dalam kedalam gejolak keterasingan anak itu tapi terpaksa mundur karena takut berkelindan dan penolakan terlalu kuat dari beberapa orang terdekatnya. “Jangan mendekat bung, kau nanti bisa jadi korban berikutnya.” Timpal mereka. Rasa peduli mereka ternyata dibalut ketakutan. Semakin anda mendekat semakin dekatnya anda dengan kematian. Tapi ada yang lain berlagak berani berkata-kata jika kita masih seperti ini kapan anak itu bisa keluar dari persoalan kehidupan, karena justru dari tatapan dan kondisi anak itu tidak seperti anak-anak lain yang riang dan bahagia. “Tapi ingat bung anda belum tahu siapa dia.” Lirih para penakut. Aku coba mendalami penyebab ketakutan itu. Dari cara mereka berbicara, cara mereka memandang dan mungkin dari cara menerka latar anak itu, semuanya hanya berkisar pada kemungkinan dan ketakutan. Mereka mulai bergumam dengan curiga besar, mungkinkah anak itu seorang provokator, teroris, atau sindikat pembunuh. Maklumlah dalam rentang dua minggu lalu, di salah satu Desa kecamatan itu, Densus 88 mengobrak-abrik satu rumah dengan dentuman peluru dari senjata kaliber pemusnah teror karena terindikasi adanya pelaku terorisme yang bersembunyi dari kejaran mereka sejak bulan lalu. Masyarakat beranggapan miring tentang keberadaan anak itu adalah bagian dari famili teroris. Tapi ada juga yang beranggapan bahwa anak itu titisan anak iblis pencabut nyawa sebab bulan ini mereka memasuki fase peralihan upacara adat tentang adanya pengaruh roh kegelapan yang akan mengganggu panen cengkih dan kelapa, sehingga upacara penangkal roh kegelapan yang dimaksud bertalian erat dengan kehadiran sosok anak asing yang muncul tiba-tiba entah dari dunia antah-berantah atau dunia nyata. Makanya semua orang pada ketakutan seolah kuat terikat pada tarekat penyergapan terorisme dan mitos roh kegelapan.
Aku terpaksa teriak. “Jika sampai sore kita semua dipenjara oleh rasa takut, sampai kapan kita menahan kepedulian kita terhadap anak itu? Apakah tetap membiarkan dia terasing lantas tidak ditolong?”. Hening sejenak semoga membuat mereka sadar dan tidak kalap. Tapi tiba-tiba muncul dua orang lelaki berbadan besar langsung menyeruduk kedua bahuku. Mereka menyeret sepanjang 5 meter jauh dari kerumunan itu. Ternyata mereka itu aparat polisi tak berseragam yang kemudian sama-sama menjadi pengecut untuk menolak mendekat kepada anak kecil itu. “Jangan ambil resiko seolah anda pahlawan kesiangan.” Katanya, selama daerah ini masih punya hukum adat maka wajar kalau semua orang mematuhinya. Hukum adat diatas hukum negara. Seseorang belum bisa dinyatakan bersalah jika tidak melalui proses beracara di hukum adat. Tampaknya Hukum adat terlalu mengental di daerah ini. Terpelihara lebih kudus daripada hukum negara. Polisi tidak bisa berbuat banyak jika tidak ada penanganan dari tua-tua adat di daerah ini, tapi benarkah pengaruh hukum adat masih teramat laku di setiap persoalan yang muncul atau cuma serpihan dan tempias saja? Barangkali aku harus cepat sadar bahwa di daerah ini hukum adat membuncah disetiap temali suka dan duka hidup masyarakat, berhubungan dengan manusia, alam semesta, atau dengan Tuhannya, dan sudah pasti ada proses penyakralan. Tidak boleh gegabah. Tidak boleh memelihara tabiat buruk atau berlaku buruk. Tidak boleh bertingkah pahlawan. Tidak boleh main hakim sendiri. Mungkin saja ada benarnya ketika mereka takut mendekat karena dibatasi oleh sebahat (perjanjian) adat. Mujur juga aku tidak lebam karena dimuntahi bogem dari mereka. Dan itupun gara-gara polisi dan masyarakat pasti mencintai adat dengan tidak cepat melukai orang. Segala sesuatu yang terjadi masih terbingkai dalam hukum adat yang jelas walau pada kenyataannya tidak semua orang mampu menjelaskannya. Dan akupun harus membaur dalam lingkaran adat resmi daerah itu. Tidak bisa menolak. Tidak bisa menggugat.