Agama dalam perspektif sosiologi punya dua makna, atau yang kerap dikenal sebagai wajah ganda agama. Di pihak pertama, kehadiran agama bisa dilihat sebagai bagian dari pemersatu.
Agama hadir untuk mengangkat derajat kemanusiaan. Ia menolak berbagai bentuk penderitaan yang disebabkan karena diskriminasi sosial yang berlangsung terus-menerus.
Di pihak lain, agama bisa jadi alat pemecah-belah ketika pada oknum pemeluknya mengatasnamakan agama untuk mencapai berbagai kepentingan.
Agama bisa tampil ekslusif, hanya untuk dirinya sendiri. Wajar jika kemudian agama disetir dan lalu kemudian menghadirkan banyak teror dalam masyarakat.
Sisi ambivalensi agama ini yang kerap diwaspadai. Hal yang sama juga perlu dicegah mulai dari diri para pemeluknya agar jangan tumbuh spirit eksklusivisme yang maunya menang sendiri.
Semangat ini yang kerap orang lihat sebagai bentuk lain dari candu. Setidaknya, Karl Marx, seorang sosiolog asal Jerman banyak membahas tentang hal ini.
Agama adalah semacam opium, yang ketika mulai digunakan secara berlebihan, ditambah dengan obat-obatan terlarang punya efek samping bagi diri yang pengguna.
Begitu juga agama. Ketika kehadirannya dipraktikkan dengan cara-cara benar punya efek baik tetapi jika keyakinan itu sudah membabi buta, melumpuhkan nalar, melahirkan fanatisme, awas, itu sungguh berbahaya.
Agar kemudian tulisan ini jangan banyak bergeliat di seputaran teori, maka penulis akan tampilkan salah satu contoh aktual yang baru-baru ini terjadi dan menimbulkan reaksi publik.
Ada seorang pendakwah tersohor yang dalam dakwahnya suka menyampaikan pesan dakwah dengan lelucon. Memang benar cara ini efektif karena membangkitkan gairah mendengarkan di kalangan akar rumput.
Meski begitu, ada kelemahannya juga karena rasa senang itu mematikan nalar. Seorang pedagang es teh dihajar habis-habisan dengan guyonannya. Semua yang hadir ikut tertawa, tanpa memberi intervensi.