Mohon tunggu...
Rolin Taneo
Rolin Taneo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemulung Ilmu

Tertarik pada bidang ilmu filsafat, sosiologi dan teologi (Kristen)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Agama adalah Candu, Benarkah?

6 Desember 2024   09:29 Diperbarui: 6 Desember 2024   09:42 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Agama dalam perspektif sosiologi punya dua makna, atau yang kerap dikenal sebagai wajah ganda agama. Di pihak pertama, kehadiran agama bisa dilihat sebagai bagian dari pemersatu.

Agama hadir untuk mengangkat derajat kemanusiaan. Ia menolak berbagai bentuk penderitaan yang disebabkan karena diskriminasi sosial yang berlangsung terus-menerus.

Di pihak lain, agama bisa jadi alat pemecah-belah ketika pada oknum pemeluknya mengatasnamakan agama untuk mencapai berbagai kepentingan.

Agama bisa tampil ekslusif, hanya untuk dirinya sendiri. Wajar jika kemudian agama disetir dan lalu kemudian menghadirkan banyak teror dalam masyarakat.

Sisi ambivalensi agama ini yang kerap diwaspadai. Hal yang sama juga perlu dicegah mulai dari diri para pemeluknya agar jangan tumbuh spirit eksklusivisme yang maunya menang sendiri.

Semangat ini yang kerap orang lihat sebagai bentuk lain dari candu. Setidaknya, Karl Marx, seorang sosiolog asal Jerman banyak membahas tentang hal ini.

Agama adalah semacam opium, yang ketika mulai digunakan secara berlebihan, ditambah dengan obat-obatan terlarang punya efek samping bagi diri yang pengguna.

Begitu juga agama. Ketika kehadirannya dipraktikkan dengan cara-cara benar punya efek baik tetapi jika keyakinan itu sudah membabi buta, melumpuhkan nalar, melahirkan fanatisme, awas, itu sungguh berbahaya.

Agar kemudian tulisan ini jangan banyak bergeliat di seputaran teori, maka penulis akan tampilkan salah satu contoh aktual yang baru-baru ini terjadi dan menimbulkan reaksi publik.

Ada seorang pendakwah tersohor yang dalam dakwahnya suka menyampaikan pesan dakwah dengan lelucon. Memang benar cara ini efektif karena membangkitkan gairah mendengarkan di kalangan akar rumput.

Meski begitu, ada kelemahannya juga karena rasa senang itu mematikan nalar. Seorang pedagang es teh dihajar habis-habisan dengan guyonannya. Semua yang hadir ikut tertawa, tanpa memberi intervensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun