Yesus menjadi teladan sempurna untuk kita belajar tentang apa itu empati terhadap yang lain.
Hal ini tidak berlebihan karena kalau kita menjadikan seseorang menjadi model utama meniru maka ada kemungkinan orang tersebut sombong, terbang tinggi hingga lupa daratan.Â
Mengapa Yesus itu jadi teladan utama dalam hal belajar tentang empati? Perhatikan bunyi ayat 1-3.
"Karena dalam Kristus ada nasehat, dst, maka hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia".
Apa maknanya? Setelah belajar dari teladan Yesus, maka ingat untuk bikin itu dalam kehidupan sosial kita.Â
Jangan mau menang sendiri, jangan mau tampil jadi orang yang mendominasi, jangan jadi orang yang suka puji diri lalu rendahkan orang lain. Kalau cara ini dipelihara, niscaya kehidupan bersama menjadi runtuh.Â
Menarik juga untuk kita maknai frasa satu hati, satu jiwa, satu pikiran, satu tujuan dan sejenisnya. Â Ini gampang kita ucap tapi dalam implementasinya kita kerap bercabang hati, beda pikiran, beda tujuan.Â
Dalam kesadaran akan adanya banyak perbedaan ini, harusnya itu menjadi catatan untuk kemudian kita cari cara meminimalisir masalah ini. Lagi-lagi Yesus dirujuk oleh Paulus untuk mengatasi masalah banyaknya perbedaan.
Paulus mengarahkan jemaat Filipi melihat tindakan Yesus yang rela meninggalkan segala atribut kuasaNya dan memilih jalan paling hina untuk manusia ditebus (ayat 5-9).
Ini artinya bahwa Yesus tahu ternyata ada hal yang jauh lebih utama yakni penebusan. Disinilah adagium Cogito Cogitata yang Husserl gaungkan secara rohani mendapatkan arti.Â
Coba kita ingat nyanyian Mazmur 123, gembala yang baik menuntun dombaNya ke jalan yang benar, ke padang rumput dan mata air. Yesus mau kita mengecap anugerah yang tiada tara melalui karyaNya. Lalu apa yang harus kita buat?