Martin Heidegger, seorang pemikir besar asal Jerman berasumsi bahwa kematian jelas bukanlah fenomena sehari-hari. Asumsi ini ia dasarkan dengan realitas bahwa fenomena sehari-hari membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil alih peran orang lain. (F. B. Hardiman, 2003 : 103). Misalnya, jika seorang penatua berhalangan dan tidak bisa memimpin ibadah di rayon maka tugas ini bisa dialihkan ke teman majelis yang lain. Tetapi hal ini tidak berlaku untuk peristiwa kematian. Seseorang bertanggungjawab atas kematiannya. Kematian itu konkret milik pribadi. Orang lain tidak bisa menjemput kematiannya demi orang lain. Sekalipun orang itu berani mati untuk orang lain tetapi sekali lagi kematiannya itu adalah kematian atas dirinya sendiri.Â
Tesis Heidegger di atas menarik untuk kita elaborasi dengan peristiwa kematian Kristus yang hari ini kita peringati sebagai Jumat Agung. Kristus mati bagi seluruh umat manusia. Kematian-Nya itu terjadi dengan cara yang naas yakni tergantung di Salib. Kita lantas bertanya, mengapa Kristus harus mati demi manusia? Bukankah manusia yang bersalah dan harus menanggung sendiri konsekuensi atas perbuatannya? Satu-satunya jawaban yang bisa kita dapatkan dari peristiwa ini yaitu anugerah.Â
Manusia seusai jatuh ke dalam dosa, manusia mengembara dalam kefanaan. Maut senantiasa menghantui kehidupan manusia. Manusia tidak bisa menghindar dari resiko ini. Gangguan maut hanya bisa diatasi jika jalan pendamaian itu benar-benar direalisasikan. Kristus, Sang Putra Allah mengambil alih jalan rekonsiliasi ini. 1 Petrus 1 : 19 memberitahukan kepada kita bahwa Kristus satu-satunya orang yang dapat melakukan peran ini karena "darah Kristus itu sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat." Kata lainnya, tidak mungkin yang cemar bisa menyucikan dirinya sendiri. Hanya anugerah yang mampu menyucikan segala kecemaran dan hal inilah yang Kristus lakukan.Â
Kristus memang benar-benar mati tetapi kematian-Nya bukan untuk dirinya sendiri. Kematian Kristus punya dampak global bagi pendamaian dan penebusan dosa. Dengan kenyataan ini maka kita juga bisa bilang bahwa atas dasar kasih yang kita terima sebagai anugerah tesis Heidegger tentang kematian sebagai yang bukan fenomena sehari-hari karena tidak ada ruang bagi orang lain mengambil alih kematian sesamanya justru hal ini dilakukan oleh Kristus.Â
Menuju kematian-Nya, ada rentetan penderitaan yang harus Kristus alami. Narasi Yohanes 19:28-42 menunjukkan sisi penderitaan ini. Di Salib, Kristus tetap merasakan penderitaan. Rasa haus yang Ia rasakan kerap dimengerti sebagai ucapan penderitaan secara jasmani. Rasa haus itu wajar bagi seorang manusia. Ucapan "Aku Haus" menunjukan natur kemanusiaan Yesus. Yesus benar-benar manusia. Realitas ini juga serentak membantah paham doketisme yang pada prinsipnya menolak natur kemanusiaan Yesus.Â
Yesus yang haus kemudian diberi anggur asam dengan cara prajurit yang ada pada saat itu mencucukkan bunga karang, yang telah dicelupkan dalam anggur asam, pada sebatang hisop lalu mengunjukkannya ke mulut Yesus, ay 29. Ridderbos memahami perlakuan dari prajurit ini sebagai suatu tindakan permusuhan untuk memperparah penderitaan. Memang benar bahwa cara mereka memberi Yesus minum tersebut menggambarkan betapa ekstremnya situasi Yesus pada saat itu. (1991:617).Â
Biar begitu, Yesus setia menerima perlakuan itu. Puncak kesetiaan itu benar-benar nyata ketika Yesus berseru, "Sudah Selesai". Ini seruan kelegaan tetapi serentak bermakna ucapan kemenangan. Untuk itu, Paulus kemudian dalam 1 Kor. 15:55 dengan lantang berkata, "Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?". Kuasa maut telah dikalahkan. Dosa telah ditebus. Seruan "Sudah Selesai" benar-benar punya kekuatan penebusan.Â
Pasca mengatakan "Sudah Selesai", adegan kekerasan tetap berlanjut. Orang Yahudi mau menjaga sakralnya perayaan Paskah mereka. Mereka menghendaki kaki Yesus dan yang tersalib lainnya dipatahkan. Kaki Yesus tidak jadi dipatahkan karena mereka melihat Yesus telah mati. Meski sudah mati Yesus masih mendapatkan perlakuan tidak manusiawi. Lambung Yesus ditikam. Darah dan air mengucur keluar. Thomas L. Brodie menafsirkan peristiwa ini sebagai berikut :
"Darah, atau setidaknya pertumpahan darah, menekankan kematian. Â Ini menandakan kerugian. Â Dalam wacana roti hidup, meminum darah menunjukkan penerimaan kematian (6:52-58). Â Sebaliknya, aliran air menandakan kehidupan dan roh (3:5; 4:7-24; 7:38-39; 9:7). Â Bersama-sama mereka menunjukkan kehilangan dan keuntungan, kematian dan kehidupan". (1993:552) Inilah paradoks Salib. Ending dari cerita kematian Yesus yakni permohonan Yusuf Arimatea menguburkan Yesus. Menarik karena meski masa menghendaki kematian Yesus tetapi masih ada sahabat yang setia memerhatikan Yesus.Â
Pada akhirnya, dari cerita Salib, kita belajar soal pengorbanan dan cinta Allah yang benar-benar murni, yang sering kita sebut dengan istilah anugerah. Kristus mencintai kita apa adanya. Seluruh diri dan pengabdian yang Ia beri adalah totalitas dari kasih-Nya. Manusia ditebus dari dosa. Inilah berita pembebasan. Dari cerita Salib kita bisa berkata :
"Salib bukan teori imajinasi, tapi "Kenyataan Hidup Kristiani". Salib bukan hadiah yang enak untuk dinikmati, tapi peluang dan tantangan yang mau tidak mau harus kita hadapi dan harus kita hidupi". (Rudiyanto Subagio, 2015:61)Â