Sendiri itu wajar. Sendiri tidak serta-merta membawa orang pada ketidakberdayaan. Banyak hal yang bisa dilakukan walaupun sendiri. Tetapi sepi itu mengundang rasa hampa. Sendiri terkesan membawa manusia pada penyangkalan terhadap makna Homo Socius. Pada hakikatnya manusia membutuhkan kehadiran orang lain agar kepenuhan menjadi manusia itu makin mencapai puncaknya.
Sendiri belum tentu sepi. Tetapi sepi sudah tentu terasing. Hanya harapan yang bisa mengatasi keterasingan menjadi kekuatan untuk segera membangun interaksi dengan yang lain. Rasa kesepian harus dijauhi agar tidak ada tekanan batin yang melukai diri.
Di Taman Getsemani, Yesus menyendiri. Ia memutuskan untuk berdoa. Keputusan Yesus ini adalah bagian dari Ia mengelola rasa kesendirianNya. Ia tidak menjadikan kesendirianNya sebagai alasan untuk menjadi pribadi yang sepi, hilang harapan.
Permohonan untuk biarkan kehendak Sang Bapa yang jadi atas seluruh peristiwa yang ada di depan adalah tanda betapa Ia siap untuk menghadapi semua resiko yang akan Ia tanggung. Mendapatkan penyangkalan, merasakan pengkhianatan, mengalami siksaan cambuk bahkan merelakan nyawa untuk mati tersalib, Ia telah siap menerima. Kekuatan mengelola rasa sendiri, kesepian dan ketakutan dengan berserah pada keputusan Sang Bapa yang mengutusNya menjadi daya resiliensi agar penebusan atas dosa dan maut menjadi nyata.
Yesus memang sendiri menanggung beban penderitaan tetapi Ia tahu cara untuk melawan semua rasa yang sementara bergejolak. Ini tentu teladan baik bagi manusia yang sering berputus-asa untuk bisa menemukan cara melawan segala bentuk keterasingan dan kesendiriannya. Ingat, kita tak sendiri. Jika kesepian itu mau kuasai dirimu, berdoalah, pandang Dia yang ada di atasmu untuk memberi daya bagimu untuk menjadi pribadi tegar. Imanuel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H