Hampir tiga minggu saya meninggalkan Ruteng dan berada di Kupang untuk urusan pekerjaan. Pada salah satu kesempatan, saya mendapatkan sebuah pengalaman berharga dengan mengunjungi sebuah desa yang cukup termasyur, dan bahkan menjadi salah satu tujuan wisata, Desa Boti. Desa Boti terletak di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan yang beribukota di SoE. Sekitar 3 jam lebih waktu tempuh dari SoE menuju Desa Boti. Jalanan yang buruk dan medan yang berliku-liku semakin menambah waktu tempuh yang harus dilalui. Setelah nyaris tersesat, akhirnya tepat pukul 12.30 WITA saya dan teman-teman, termasuk atasan saya yang cool Mas Pitoyo, tiba di rumah Raja Boti.
Kami disambut oleh seorang ibu bersanggul, yang dengan tenang juga memanggil seorang wanita yang lebih tua. Rupanya dalam pola bermasyarakat Desa Boti, ada orang-orang yang memiliki tupoksi khusus untuk menjadi juru bicara mewakili orang-orang Desa Boti. Tentu saja Raja Desa Boti adalah juru bicara utama, tetapi dikarenakan hari itu semua laki-laki Desa Boti sedang bekerja di ladang dan hanya para wanita saja yang tinggal di Desa, maka wanita yang sangat dituakan dan dihormati itulah yang menjadi sumber informasi mengenai Desa Boti.
Di dalam blog Aklahat dijelaskan jika suku Boti adalah suku tertutup. Anggota sukunya harus tinggal dalam pagar wilayah mereka sendiri. Namun, mereka juga terbuka karena pernikahan dengan orang luar tak dilarang meski setelah itu kembali menutup diri karena si orang luar harus tinggal, menanggalkan semua budaya luar dan menganut budaya Boti.
Lebih lanjut dalam blog Aklahat, Suku Boti merupakan satu-satunya suku dalam kerajaan Amanuban dahulu di pedalaman Timor, di mana kepala sukunya menolak untuk dikristenkan oleh Zending Protestan maupun Misionaris Katolik pada jaman kolonial Belanda. Karena kesantunannya, kelompok suku itu mendapat privelese untuk menjalankan tata adat sendiri hingga kemudian tercatat sebagai salah satu kerajaan kecil di Timor Tengah Selatan. Mereka sampai hari ini tetap berpegang pada kepercayaan asli orang Dawan yang dinamakan halaika dan dengan demikian menolak bentuk kehidupan modern.
Dalam perbincangan yang kami lakukan hari itu, saya mendapat kesan bahwa ketiadaan agama dalam sistem sosial mereka, tidak serta menjadikan mereka kurang bahagia, ataupun kurang bermoral. Justru mereka jauh lebih bahagia dan bermoral ketimbang masyarakat yang menganut agama. Ketika ditanya mengapa mereka tidak mau beragama, dengan berkelakar wanita yang dituakan dan menjadi juru bicara Suku Boti hari itu mengatakan: “Coba dilihat di penjara, justru yang banyak adalah nama-nama orang yang mengaku beragama. Tidak ada satu pun nama orang Boti yang ada di penjara, pelaku korupsi ataupun terorisme.”
Lebih uniknya lagi adalah pola pemberian sanksi di antara Suku Boti. Jika ada satu orang di Desa yang kedapatan mencuri ayam, maka seluruh penghuni Desa Boti akan memberikan semua ayam yang mereka punya kepada si pencuri tersebut. Mereka berasumsi jika ada yang mencuri di desa mereka, berarti ada orang yang sangat membutuhkan ayam sehingga mencuri ayam milik orang lain. Karena si pencuri sangat membutuhkan ayam, maka seluruh warga desa akan menyerahkan ayam-ayam yang mereka miliki kepada si pencuri sebagai bentuk solidaritas mereka atas “kebutuhan” si pencuri tersebut.
Kami yang mendengar pola pemberian sanksi Suku Boti, tak henti-hentinya merasa kagum. Apalagi ketika sang juru bicara itu mengatakan selama ini tidak pernah ada kasus kriminal di antara mereka. Tetapi jika terjadi sekalipun, di dalam aturan adat mereka sudah ada pola pemberian sanksi jika memang harus diberikan, yaitu apa yang dicuri itulah yang akan diberikan seluruh penduduk Desa Boti.
Yang tak kalah uniknya adalah sistem pengaturan lopo mereka. Lopo adalah rumah berbentuk bulat yang sering difungsikan sebagai tempat penyimpanan bibit ataupun bahan makanan. Mereka memiliki satu lopo yang dikhususkan untuk keperluan logistik orang asing atau pengunjung yang tinggal menginap di desa mereka. Sistem ini didorong oleh filosofi tak satu pun orang di Desa Boti, termasuk orang asing sekalipun, yang kelaparan atau tidak mendapat makanan. Semua orang harus sejahtera, demikian filosofi sederhana suku Boti.
Sepulang dari Desa Boti, saya menyimpulkan:
- Moralitas tidak selalu bersumber dari agama. Moralitas orang-orang Suku Boti tidak bersumber dari ajaran-ajaran agama-agama formal yang ada. Sumber ajaran itu terdapat di alam atau di sekitar mereka, yang bahkan jauh lebih luhur dari ajaran-ajaran dalam dogma agama. Karena moralitas mereka bersumber bukan dari agama, dan tetap mereka memiliki akhlak yang baik; lalu mengapa orang-orang yang mencantumkan agama di KTP mereka malah tidak berakhklak?
- Kebahagiaan tidak selalu bersumber dari ritual agama. Meskipun mereka tidak beragama, orang-orang Suku Boti adalah insan-insan yang sangat bahagia. Bahkan orang-orang Boti hanya berdoa pada Tuhan (Raja Langit) sebelum masa tanam (persiapan lahan dan sebagainya), memasuki awal musim tanam, dan setelah panen. Sangat kontradiktif dengan agama-agama formal yang mewajibkan ritual agamawi yang teratur, dan bahkan menjanjikan kebahagiaan jika ritual-ritual tersebut dilaksanakan dengan taat.
- Tuhan tidak selalu identik dengan agama. Bagi orang Boti, Tuhan ada di mana-mana. Ia tidak terbungkus kaku dalam suatu ajaran agama tertentu. Selama mata hati seseorang terbuka untuk Entitas yang sangat agung yang diberi nama Tuhan, maka orang tersebut sudah ber-Tuhan meskipun tanpa beragama. Mengenal Tuhan, menyembah Tuhan, dan mengakui Tuhan adalah praktek yang bisa dilakukan setiap saat tanpa harus menjalani sebuah agama formal. Pertanyaannya adalah: Apakah kita ber-Tuhan atau ber-agama?
Suatu saat, saya akan kembali ke Desa Boti dan menyedot sari-sari kebijaksanaan di sana. -Ruteng, 27 November 2012-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H