Celaka!
Kita tinggal di negeri celaka.
Karena begitu banyak nyawa mati sia-sia,
hanya karena perbedaan ajaran agama.
Kita sudah lupa kita berasal dari Adam dan Hawa,
diperanakkan dalam dosa, dan tak kuasa mengelak birahi dunia;
di atas kita TUHAN yang sama.
Celaka!
Kita tinggal di tanah celaka.
Karena kekuasaan hanya berpihak pada borjuis,
sedang yang miskin hanya bisa meringis dan menangis,
bungkam ketakutan di bawah todongan senjata orang-orang bengis,
yang bersembunyi di balik seragam mereka yang klimis.
Kita lupa ketika umur kelak habis,
kita hanyalah seongok mayat terkubur yang segera amis.
Celaka!
Kita tinggal di masa-masa celaka.
Karena semua orang merasa bak pahlawan,
pongah bercerita ia layak menjadi negarawan,
dan patut diusung tinggi di tengah arak-arakan.
Padahal kata-katanya hanya bualan.
Semua yang ia buat hanyalah kepalsuan,
tindakan musiman untuk meraih coblosan.
Celaka!
Kita sekarang benar-benar celaka.
Teruna-teruna kita makin sirna ditelan masa,
dan hanya sibuk dengan urusan harta, tahta dan cinta.
Diobral kepada setan jahanam dari neraka,
yang tertawa terbahak-bahak di balik suntikan jarum narkotika.
Padahal anak adalah senjata membongkar segala durjana,
yang kelak membawa kita pada cakrawala berselimutkan sejahtera.
Semoga di masa yang tak terlalu lama,
semua bangkit dari mati suri.
Dan menyeret kebaikan surga,
membawa kebajikan di tengah negeri.
Agar kita kelak bisa bersabda:
“Celakalah kamu yang hanya berdiam diri.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H