Aku baru saja hendak menenangkan tentara yang berdiri di sampingku, tetapi suara letusan senapan sudah terlebih dahulu membahana di ruangan temaram yang penuh sesak dengan orang-orang yang harus kudoakan sore itu. Kerabat jemaatku itu tewas seketika. Dua butir timah panas meledakkan kepalanya. Sebagian otaknya pun berceceran di lantai.
"Ada apa ini?"
"Lapor Pak," dengan sigap laki-laki kerempeng itu memberi hormat kepada pria berseragam dan berbadan gempal yang masuk ke ruangan. Ia pasti mendengar suara letusan senjata yang menewaskan kerabat jemaatku itu, lalu memutuskan keluar dari ruangan kantornya yang berada di luar. Saat aku baru tiba, aku melihat ia dan beberapa orang sedang memperkosa seorang gadis remaja di ruangannya. "Babi pengkhianat ini memaki Pak Pendeta, dan menantang saya untuk menembaknya."
"Lanjutkan. Tapi usahakan lain kali jika terpaksa, kau seret dan tembak yang lain di luar," kata pria yang lebih mirip residivis itu sambil menghembuskan asap rokoknya. "Supaya yang lain juga lihat akibatnya jika berkhianat kepada Republik.
"Siap laksanakan," kata si pembunuh berdarah dingin itu sambil membalikkan badannya, "Heh, sini kau bangsat." Kali ini seorang kakek diseretnya untuk mendapatkan giliran didoakan selanjutnya.
Sembari menepuk pundakku, laki-laki yang resleting celananya belum dirapatkan itu berkata, "Pak Pendeta, nanti jika sudah selesai, datang ke kantorku. Kita minum sopi sedikit, sehabis itu Bapa ambil amplop dan bisa pulang."
Aku hanya diam sambil tersenyum. Aku hanya ingin segera menyelesaikan tugasku membawa doa, menerima amplop yang dijanjikan, lalu segera meninggalkan kota ini dan melanjutkan studiku di Belanda.
***
"Saya anak pria di foto itu. Laki-laki yang Pak Pendeta doakan Bapa Kami sebelum peluru meledakkan kepala ayah saya."
Pria yang masih terlihat bugar itu  terlihat menahan emosinya. Dadanya turun naik dengan cepat, sedangkan kedua tangannya mengepal.
"Maafkan saya, Dik. Saya tidak tahu kalau daftar nama itu adalah orang-orang yang akan dibantai sore itu."